Penentuan threshold dalam pemilu, pada dasarnya, merupakan kewenangan legislatif yang berada di tangan DPR. DPR memiliki tugas untuk merumuskan undang-undang yang mengatur berbagai aspek pemilu, termasuk menentukan ambang batas yang harus dicapai oleh partai politik atau calon tertentu. Proses ini melibatkan pertimbangan politik yang mendalam, termasuk keinginan untuk menciptakan stabilitas politik dan mencegah terjadinya fragmentasi dalam lembaga legislatif atau eksekutif.
Namun, meskipun penentuan threshold merupakan kewenangan DPR, MK memiliki peran penting dalam mengawasi agar undang-undang yang ditetapkan tersebut tidak melanggar konstitusi. MK tidak berwenang untuk menentukan atau menetapkan threshold secara langsung, tetapi memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas dari threshold yang ditetapkan oleh DPR. Dengan kata lain, MK dapat membatalkan atau merevisi ketentuan threshold jika terbukti bahwa aturan tersebut melanggar prinsip-prinsip konstitusi, seperti hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan atau prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam menjalankan tugasnya, MK harus memastikan bahwa aturan threshold yang ditetapkan oleh DPR tidak membatasi secara tidak proporsional hak politik warga negara atau menghambat representasi politik secara adil. Oleh karena itu, meskipun penetapan threshold adalah wewenang DPR, pengawasan terhadap konstitusionalitasnya tetap berada di bawah yurisdiksi MK. Ini adalah bentuk check and balance antara kekuasaan legislatif dan yudikatif yang bertujuan untuk menjaga keadilan dan kesesuaian dengan konstitusi dalam sistem pemilu di Indonesia.
Batas Wewenang: Politik di DPR vs. Hukum di MK
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah dua lembaga negara dengan fungsi yang berbeda namun saling melengkapi dalam sistem demokrasi Indonesia. DPR memiliki fungsi utama sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang, termasuk menetapkan berbagai aturan dalam sistem pemilu seperti threshold atau ambang batas. Keputusan DPR dalam hal ini bersifat politis, karena melibatkan pertimbangan untuk menciptakan stabilitas politik, mendorong efektivitas pemerintahan, dan mewujudkan representasi yang lebih baik di parlemen.
Di sisi lain, MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi, dengan tugas utama menguji konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh DPR. MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat atau mengubah undang-undang, tetapi memiliki wewenang untuk membatalkan atau merevisi undang-undang jika terbukti bertentangan dengan konstitusi. Peran MK lebih bersifat hukum, yaitu menjaga agar semua peraturan yang dibuat oleh DPR tidak melanggar hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.
Batasan antara fungsi politik DPR dan fungsi hukum MK seharusnya jelas, namun dalam praktiknya, keduanya seringkali bersinggungan, terutama ketika kebijakan politik yang diambil DPR diuji di MK. Ketika hal ini terjadi, MK berperan sebagai pengadil yang menentukan apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi. Meskipun demikian, MK tidak boleh menggantikan peran DPR sebagai pembuat kebijakan, melainkan hanya memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak melanggar konstitusi.
Potensi Tumpang Tindih Wewenang antara DPR dan MK dalam Penentuan Threshold
Threshold dalam pemilu adalah salah satu isu yang kerap memunculkan potensi tumpang tindih wewenang antara DPR dan MK. DPR, sebagai pembuat undang-undang, menetapkan threshold dengan berbagai pertimbangan politik, termasuk untuk mencegah fragmentasi partai politik di parlemen dan memastikan hanya partai atau calon dengan dukungan signifikan yang bisa berkompetisi. Namun, penetapan threshold ini sering kali diuji di MK oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atau menganggap bahwa aturan tersebut tidak konstitusional.
Potensi tumpang tindih terjadi ketika MK, dalam pengujian undang-undang, menemukan bahwa ketentuan threshold yang ditetapkan DPR melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Dalam situasi seperti ini, MK dapat membatalkan atau merevisi ketentuan tersebut, yang berarti keputusan politik DPR dapat dibatalkan oleh putusan hukum MK. Hal ini bisa memicu ketegangan antara kedua lembaga, karena DPR mungkin merasa bahwa keputusan politik yang diambilnya telah dibatalkan oleh MK, sementara MK hanya menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi.
Sebagai contoh, dalam kasus Parliamentary Threshold, MK pernah menegaskan bahwa threshold adalah sah secara konstitusional, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, ketentuan threshold lainnya bisa dibatalkan jika terbukti bertentangan dengan konstitusi. Ketegangan semacam ini menunjukkan pentingnya adanya keseimbangan dan pemahaman yang jelas mengenai batas wewenang masing-masing lembaga.