Hari Senin itu dimulai seperti biasa. Alia bangun pukul lima pagi, menyiapkan sarapan dan obat-obatan ibunya. Sudah menjadi rutinitas selama dua tahun terakhir sejak Ayahnya meninggal karena serangan jantung.
"Bu, ayo sarapan dulu." Alia meletakkan semangkuk bubur di atas meja kecil di samping tempat tidur ibunya.
Wanita tua itu-yang sebenarnya baru berusia 62 tahun-hanya menatap kosong ke arah jendela. Tulang pipinya menonjol, menambah kesan tua pada wajahnya yang keriput. TBC yang dideritanya selama bertahun-tahun, diperparah dengan gangguan kecemasan, membuat tubuhnya semakin rapuh. Rambutnya yang sudah memutih sempurna tersisir rapi, hasil kerja Alia tadi pagi.
"Bu, sedikit saja ya," bujuk Alia lembut. Tangannya dengan hati-hati menyuapkan sesendok bubur ke mulut ibunya.
Namun ibunya hanya menggeleng lemah, menolak makanan itu untuk kesekian kalinya. Sudah dua bulan ibunya hampir tidak mau makan apa-apa. Bubur pun hanya masuk satu atau dua sendok, lalu beliau akan mengeluh perutnya sakit atau mual.
Alia menghela napas, meletakkan mangkuk yang masih penuh itu kembali ke meja. Ditatapnya sosok wanita yang pernah begitu tegar itu, kini tinggal tulang berbalut kulit. Hatinya perih.
"Ibu yakin tidak mau makan?" tanyanya sekali lagi, berharap.
Ibunya menggelengkan kepala. Isyarat yang sama selama berminggu-minggu. Alia memeriksa termometer di samping tempat tidur. 38,5 derajat. Demamnya naik lagi.
Alia meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan, dan mengetik cepat kepada atasannya.
"Pak Suryo, maaf saya tidak bisa masuk hari ini. Saya harus  ke rumah sakit. Terima kasih atas pengertiannya."
Balasan datang tidak lama kemudian.