Mohon tunggu...
Gunawan Simangunsong
Gunawan Simangunsong Mohon Tunggu... Administrasi - Gunawan Simangunsong seorang Junior Asscociate di Refly Harun & Partners saat ini sedang menempuh Pascasarjana Universitas Indonesia Peminatan Hukum Kenegaraan. Untuk menghubungi bisa di gunawansimangunsong14@gmail.com

Lawyer at Refly Harun and Partners, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aku Bebas Aku Terhalang

21 Januari 2019   15:11 Diperbarui: 21 Januari 2019   15:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita akhir-akhir ini diwarnai oleh sejumlah trending topic diantaranya adalah akan bebasnya Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering disapa Ahok pada tanggal 24 Januari 2019. Netizen pun banyak berkomentar dan memberikan masukan kepada Ahok setelah bebas nantinya. Adapun usulan netizen tersebut antara lain agar Ahok menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wakil Presiden mendampingi Jokowi, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.

Harapan para netizen tersebut sah-sah saja di alam demokrasi Indonesia saat ini, dimana mereka merindukan kepemimpinan seorang Ahok yang terkenal tegas dan jujur, selain itu sangat jarang sekali pemimpin di negeri ini yang memiliki karakter seperti Ahok yang tidak mengenal kompromi politik. Namun harapan netizen tersebut bisa-bisa tidak tercapai, karena adanya sejumlah syarat untuk menjadi calon pejabat negara, baik jabatan yang elected official (jabatan yang dipilih) maupun jabatan yang selected official (jabatan yang diseleksi), syarat tersebut adalah "tidak pernah melakukan perbuatan tercela".

Setidaknya ada sembilan norma peraturan yang mengatur syarat tersebut, satu di tingkat norma konstitusi (alasan impeachment presiden/wakil presiden) dan delapan di tingkat norma undang-undang. Setelah bebas pada tanggal 24 Januari 2019, maka Ahok akan berstatus sebagai "mantan terpidana" dan dengan adanya syarat "tidak pernah melakukan perbuatan tercela" maka Ahok akan terhalang menduduki jabatan di pemerintahan karena dianggap "pernah melakukan perbuatan tercela".

Penulis berpendapat bahwa norma tersebut menimbulkan ketidakadilan setidaknya dengan dua alasan, pertama, makna "perbuatan tercela" menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengertian ditiap undang-undang berbeda-beda, kedua, norma tersebut melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi khususnya hak atas kepastian hukum yang adil, hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak atas kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dalam naungan negara hukum.

Seperti penulis uraikan di atas, pengertian ditiap undang-undang berbeda-beda, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan mengartikan "perbuatan tercela" adalah setiap sikap, perbuatan dan tindakan jaksa pada saat atau tidak sedang bertugas yang merendahkan martabat jaksa atau kejaksaan. Sementara makna "perbuatan tercela" lebih luas di dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yaitu setiap perbuatan yang melanggar kesusilaan seperti judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina. Disisi lain makna "perbuatan tercela" di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lebih luas lagi dan abstrak yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila dan norma adat. Dari pengertian yang berbeda-beda tersebut di atas tergambar jelas pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) tidak konsisten dalam menciptakan pengertian norma hukum, hal ini sangat berbahaya karena undang-undang bersinggungan langsung dengan hak asasi warga negara yang dijamin konstitusi.

Pembentuk Undang-Undang Berperan Sebagai Hakim

Konstitusi kita telah jelas mengatur mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip check and balances system. Prinsip tersebut sangat tegas diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu di Pasal 4 Ayat (1) yang berbunyi "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar" ini berarti presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Pasal 20 Ayat (1) yang berbunyi "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang" yang berarti DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan" yang berarti kekuasaan kehakiman pemegang kekuasaan yudikatif.

Prinsip pemisahan kekuasaan tersebut tidak boleh saling bertabrakan apalagi sampai mengambil alih peran kekuasaan lainnya. Sebagai penyelenggara penegakan hukum dan keadilan, satu-satunya kekuasaan yang berhak mengadili dan menghukum warga negara adalah kekuasaan kehakiman. Melalui vonisnya, kekuasaan kehakimanlah yang berwenang mencabut hak asasi manusia termasuk boleh tidaknya warga negara dipilih dalam jabatan pemerintahan, hakim dapat mencabutnya melalui pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan mencantumkan syarat "tidak pernah melakukan perbuatan tercela" di dalam berbagai undang-undang, maka pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) telah bertindak sebagai hakim dan mencabut hak asasi warga negara untuk mencalonkan diri dalam dalam jabatan di pemerintahan, bahkan yang lebih berbahaya lagi hak tersebut dicabut untuk selama-lamanya atau selama undang-undang masih mengaturnya atau belum dibatalkan.

Hal lain yang gagal dipahami oleh pembentuk undang-undang adalah bahwa pengertian "perbuatan tercela" batasannya tidak jelas dan sangat luas. UU Pemilu contohnya yang mengartikan perbuatan tercela adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila dan norma adat, menjadi pertanyaan adalah siapakah yang berwenang memvonis seseorang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat? Apakah tokoh agama? Apakah tokoh masyarakat? Atau kepala adat? Ini memimbulkan ketidakpastian penegakan hukum.

Disisi lain, norma agama norma adat dan norma kesusilaan di Indonesia sangat beragam, standar kesusilaan disatu tempat bisa saja berbeda standar kesusilaanya ditempat lain, sebagai contoh di Kupang, meminum sopi (minuman beralkohol tinggi) bukanlah perbuatan tercela tetapi sebagai salah satu cara untuk meminang perempuan dan dapat juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Selain itu apakah adil apabila seseorang ditetapkan "telah melakukan tercela" tanpa melalui proses pengadilan atau due process of law? Hal ini yang salah dipahami oleh pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan undang-undang sehingga menimbulkan sesat pikir (fallacy).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun