Mohon tunggu...
Goel A Pahit
Goel A Pahit Mohon Tunggu... Freelancer - Lauik sati rantau batuah

Pembaca, suka menulis dan cinta akan dunia literasi. Saya bercita-cita mendirikan pustaka baca gratis untuk desa kelahiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Anak Ladang

17 September 2020   13:00 Diperbarui: 17 September 2020   13:05 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya mereka yang merasakan betapa pedihnya hidup di perantauan dan bekerja sebagai buruh kasar di ladang milik perusahaan. Mereka adalah orang tua tangguh yang harus berjuang dan terus berjuang demi menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak mereka.

Dengan gaji yang pas-pasan, bahkan seringkali mereka mengeluh dengan keadaan itu. Bekerja penuh tekanan dengan gaji yang tidak pas-pasan saja. Membanting tulang di dalam hutan, tanpa ada saudara di perantauan, mereka tetap bertahan meski tanpa perhatian.

Semenjak adanya virus ini (Covid-19), mereka tidak lagi mendapatkan cuti. Dikarenakan harus cek kesehatan apabila mereka cuti, sedangkan biaya untuk Test kesehatan mencapai Rp. 300.000,- / sekali test kesehatan. Karena tidak sanggup mengeluarkan biaya sebanyak itu, mereka tidak sanggup untuk mengambil jatah cuti yang tersedia.

"Seakan-akan kondisi saat ini dijadikan ajang bisnis oleh instansi terkait," celoteh salah satu buruh itu.

Mereka menyebut diri mereka anak ladang, orang yang bekerja di ladang milik perusahaan. Bekerja dari mulai terbit fajar, hingga matahari tenggelam. Semua itu adalah tuntutan yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab.

Saat ini mereka para anak ladang mengeluh dengan sistem belajar siswa yang berbasis daring. Biasanya anak-anak mereka sekolah dijemput oleh bus sekolah yang disediakan oleh perusahaan, semanjak kejadian ini anak-anak mereka tidak lagi belajar semestinya.

Metode belajar daring merugikan siswa yang di pedalaman, seperti para anak ladang ini. Anak-anak mereka hanya bisa berpangku tangan saban hari, karena tidak memiliki HP Android dan kalaupun ada, di ladang tidak ada sinyal untuk akses internet.

Sungguh sangat menyedihkan nasib mereka, anak-anak yang seharusnya belajar, kini hanya bisa berdiam diri di rumah. Dicari pun sinyal, hendak ke mana? Orang tua mereka bekerja setiap hari untuk mencari beras. Mereka anak-anak tidak mungkin berjalan sendiri di dalam ladang yang seperti hutan.

Ke mana hendak mengadu? Hidup menumpang di negeri orang, terkadang mereka tidak memiliki identitas dan ada juga yang tidak memutasi identitas mereka ke tempat domisili, apa mungkin didengar?

"Sampai kapan keadaan akan kembali normal?" Tanya salah satu orang tua.

Pertanyaan itu tidak bisa dijawab tanpa data, saya hanya diam dan menahan kepedihan di dada, karena melihat kondisi anak-anak mereka yang jauh dari perkembangan dunia.

Mungkin nasib anak yang seperti ini tidak hanya di sini saja, mungkin masih banyak yang lain yang lebih parah. Namun, jeritan yang terdengar ini musti diprioritaskan oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan perusahaan yang membina mereka. Anak-anak itu adalah aset negara, tidak menutup kemungkinan dari sekian banyak anak-anak di ladang pedalaman, salah satunya bisa saja menjadi orang penting di negara ini kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun