Mohon tunggu...
Kraeng Guido
Kraeng Guido Mohon Tunggu... Petani - Petani Cengkeh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pembudidaya Tanaman Cengkeh | Senang dengar lagu band Jamrud, Padi dan Boomerang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jangan Memancing Kemarahan Rakyat!

17 April 2019   02:53 Diperbarui: 17 April 2019   03:13 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nilai kalau diukur dengan uang kita sebut harga. Maka harga adalah nilai yang dapat ditukar dengan sejumlah uang alias 'dijualbelikan'. Sesuatu yg bernilai dan dapat 'dijual-beli' sudah tentu berupa materi atau sejajar dengan barang dagangan. Itu berarti kekayaan makna yang tersimpan dalam sesuatu yang bernilai itu tak lagi kelihatan kecuali nilai ekonomis. Politik uang membuat kesakralan nilai politik pudar.

Politik disejajarkan dengan barang yang dapat dijualbeli dan bernilai ekonomis. Kekuasaan yang diraih melalui politik uang bakal kehilangan roh dan hakekatnya yang spiritual yakni mengupayakan kebaikan bersama, menjujung tinggi nilai kebenaran dan kemanusiaan. Praktik 'money politic' mereduksi makna kesucian dari politik. Hal ini menyebabkan politik dinilai kotor karena mengabaikan etika dan moralitas.

Kolusi dan nepotisme terutama antara yang berkuasa dengan yang empunya 'kapital' adalah wajah lain dari politik minus etika. Rakyat dalam praktek politik seperti ini cuma dihargai, diperhatikan sejauh dapat mendatangkan kapital/keuntungan ekonomi. Rakyat miskin diperlakukan ibarat barang yang martabatnya bisa dibarter untuk tujuan investasi ekonomi.

Sang penguasa lupa kalau kursi kekuasaan itu adalah 'rezeki' yang diperolehnya dari suara-suara rakyat miskin yang memberi dari kekurangan karena ingin hidup layak sebagai rakyat yang bermartabat. Paradoksnya, kursi kekuasaan yang kehilangan roh/spirit "kesucian" itu dalam kenyataannya dipestakan oleh rakyat. Dengan bangga rakyat menyebutnya pesta demokrasi.

Seakan pesta itu sepenuhnya mewujutkan kehendak mereka. Padahal, rakyat cuma dijadikan simbol. Partailah yang mengatasnamakan rakyat untuk mewujutkan kepentingan partai. Tanpa disadari yang disyukuri adalah kekuatan uang dan para pemilik modal. Sebab tanpa berkolusi dan bergaining dengan yang empunya kapital tidak ada jaminan bisa rayakan pesta demokrasi atau melenggang ke puncak kekuasaan.

Tidak akan terjadi pesta kemenangan. Kecuali mereka yang punya kekuatan modal sendiri tidak butuh selingkuh dengan dengan kapital. Sistem kita telah memberikan kewengan yang luar biasa pada partai untuk bertindak atas nama kepentingan rakyat.

Sebuah kepercayaan dan tugas mulia yang seharusnya digunakan secara bertanggungj awab yakni untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini mengandaikan para politisi mempraktikkan politik hati nurani. Persis dalam politik hati nurani ini makna spiritual dari politik yang melayani nilai dan kemanusiaan mencapai kepenuhannya.

"Jangan Memancing Kemarahan Rakyat Jelata!" Di negeri kita ini misalnya, rakyatnya tidak aman karena ada orang kaya yang dibiarkan leluasa untuk apa saja, termasuk untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan keangkuhanya dan kebohongan berlabelakan SARA. Katanya "dibacking orang-orang hebat". Ini sudah menjadi rahasia umum, ada yang punya data dan pengalaman.

Sepertinya rakyat hanya bisa mengadu, semoga Pemerintah segera menoleh kekelaman ini. Mungkin dengan itu, situasi negeri itu menjadi damai, karena menjadi jelas dan terang siapa penjahat dan siapa pejuang kebenaran. Rakyat negeri itu tak berdaya sebab, uang dibarter dengan kuasa. Rakyat jelata tak punya uang maka kebenaran tak ada pada mereka.

Tapi sampai kapan mereka bertahan menyaksikan keangkuhan kekuasaan dan perlakuan tidak adil serta diskriminasi. Bukankah mereka yang empunya tanah tumpah darah. Jadi ingat para pejuang teologi pembebasan di Amerika Latin yang alergi dengan kata pembangunan.

Bagi mereka pembangunan adalah sarana bagi yg berkuasa untuk menindas rakyat. Diinspirasi oleh semangat pembebasan ini rakyat lalu angkat senjata memerangi pembesarnya yang menyandang atribut pelindung rakyat tapi dalam kenyataanya bekerja sama dengan yang punya uang untuk memangsa rakyatnya. Yah, kalau suatu saat mereka marah, jangan terkejut, jangan membiarkan rakyat yg marah itu dikriminalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun