Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Menyiasati Ancaman Kekeringan agar Tidak Jadi Penyakit Menahun

3 September 2021   16:27 Diperbarui: 4 September 2021   15:51 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melakukan mitigasi sebelum terjadi kekeringan. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Ditilik dari ilmu geografi, September itu digolongkan sebagai bulan kering atau puncak daripada musim kemarau panjang. Ditandai juga dengan curah hujan menurun dan cuaca terasa panas sepanjang hari.

Meski secara teori mengatakan demikian, tapi pada kenyataannya di beberapa tempat di tanah air, semisal di NTB dan NTT, musim kemaraunya terasa lebih lama lagi. Yakni, dari April hingga Oktober.

Cuaca di bulan September itu memang tidak akan banyak membantu para petani khususnya karena pada saat itu tidak ada tanaman yang bisa ditanam. Kalaupun masih ngotot menanam, ya, maka risiko gagal panen itu sangat tinggi.

Terkecuali bila tanaman yang hendak ditanam itu tidak membutuhkan banyak air dan/atau lokasi lahan bercocok tanam itu berada dekat dengan sumber mata air misalnya.

Lebih lanjut, berbeda dengan reksa wilayah lain di Indonesia, provinsi NTT adalah daerah yang paling rawan kemarau. Setidaknya, dalam artikelnya yang ditulis kemarin di sini (klik untuk baca), kompasianer Roman Rendusara sudah memberikan gambaran kasar kepada kita tentang ekologi pertanahan di Pulau Flores setiba musim kemarau.

Kalau boleh dibilang musim kemarau di NTT itu menyentuh level setan. Pokoknya sadis.

Liuk perbukitan dan lembah yang semulanya hijau asri sesaat bulan basah (musim penghujan) akan berubah menjadi kecoklatan tatkala memasuki kemarau panjang.

Tak hanya itu, debit air sungai yang sebelumnya mengalir deras ke permukiman warga seketika menurun. Demikian halnya dengan saluran irigasi persawahan yang mendadak kering.

Maka tak ayal, selama musim kemarau itu pula, nyaring terdengar suara-suara minor para petani. Ya, ihwal ancaman kelaparan sudah ada di depan mata.

Jadi, sebagai upaya menyiasati musim kemarau panjang itu, para petani di NTT mempunyai perhitungan matematis tersendiri menyoal pranata mangsa pertanian padi, palawija dan hortikultura.

Dokpri
Dokpri

Selain dengan mencocokkan dengan kalender tanam guna memitigasi adanya kekeringan hingga gagal panen, mereka juga menyiapkan embung dari tadahan air hujan yang dibuat ala kadarnya. Ada juga petani yang berinisiatif menggali sumur sendiri di kebun misalnya.

Namun lagi-lagi, di tengah anomali cuaca yang tak menentu sekarang ini, ketersediaan embung dan sumur galian yang terbatas itu terasa belum siap untuk prospek jangka panjang. Tapi, mau bagaimana lagi, paling tidak dua hal itu merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan oleh para petani di tengah situasi batas.

Adapun selain memanfaatkan dua cara di atas, upaya dalam menyiasati musim kemarau agar tidak deja vu bisa dengan memperbanyak embung atau dalam skala besar misalnya menambah armada bendungan penampuang air.

Kita di NTT memang patut bersyukur ihwal berkat campur tangan pemerintah pusat, sejauh ini sudah ada 3 dari 9 bendungan raksasa yang sudah selesai dibangun dan airnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan air bersih masyarakat.

Sebagai informasi saja, 3 bendungan di NTT yang sudah resmi beroperasi itu adalah Bendungan Napun Gete di Sikka (2021), Bendungan Rotiklot di Belu (2019), dan Bendungan Raknamo di Kupang (2018).

Tentu saja pembangunan bendungan-bendungan ini hadir sebagai jawaban pemerintah pusat atas darurat ketersediaan air bersih di NTT. Maka dari itu, manfaatkan air itu dengan sebaik-baiknya.

Seraya kita terus berharap agar pemerintah pusat tetap pada komitmennya untuk menyelesaikan beberapa proyek bendungan yang tersisa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah, kepada masyarakat NTT untuk lebih bijak dan jangan serampangan mengelola hutan serta ekosistem yang ada di dalamnya.

Tersebab selama ini, sudah banyak kasus pembalakan hutan secara liar dan tidak bertanggung jawab, terkhusus di wilayah Manggarai.

Ingat! Hutan itu habitus hidup dan yang menghidupi. Pembabatan hutan adalah awal dari kepunahan manusia itu sendiri.

Tolonglah saudara-saudara, sadarlah. Mari jaga hutan kita tetap lestari agar kita dilimpahi berkat air yang berkecukupan. Niscaya bencana kekeringan akan jauh dari kehidupan kita, sekalipun musim kemarau datang silih berganti.(*)

Semoga bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun