Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik bagi Kompasianer yang Begitu Vokal Meneriakkan Ketimpangan di Timor Leste

21 Februari 2021   16:38 Diperbarui: 21 Februari 2021   21:07 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warga Timor Leste/Stefanus Akim/Tribun

Sudah lama sebenarnya saya ingin mengagihkan kritik pada penulis di Kompasiana yang getol mempergunjingkan pilihan sikap rakyat Timor Leste (TL) untuk memisahkan diri dari Indonesia di masa lalu.

Saya kira, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi dalam ranah ini. Tersebab, pilihan 80 persen rakyat TL untuk berpisah dari NKRI merupakan sebuah konsesus yang telah disepakati oleh bangsa-bangsa.

Tapi memang, jika dibaca rentetan artikel tentang TL yang dianggit oleh si penulis selama ini, ya, cendrung repetitif dan acapkali bertolak dari logika yang sifatnya menyangsikan pilihan rakyat TL.

Kita bisa sigi dari penggunaan kalimat seperti "sudahlah Timor Leste balik ke Indonesia lagi" atau "salah sendiri. Siapa suruh pisah dari NKRI?".

Selain terkesan menyangsikan, tulisan itu pula nir solusi. Ya, sayang sekali. Karena sebetulnya kita sangat mengharapkan hal itu.

Ihwal isu yang dibahas amat krusial, yakni tentang kemiskinan, kelaparan, ekspor-impor, ketersediaan lapangan kerja dan sebagainya. Pembaca pun jadi hilang gairah karena penulis tidak mampu menghadirkan solusi sebagai alternatif/skema pemecahan atas masalah.

Sampai di sini, menurut saya, ada baiknya sikap bijak yang ditonjolkan oleh kita warga negara Indonesia adalah membantu TL mengisi kemerdekaannya. Bukan malah sebaliknya.

Toh, referendum TL waktu itu kan atas persetujuan Pemerintah Indonesia juga. Jadi, apapun hasilnya, ya, harus kita dukung. Begitulah pergaulan antar negara harus dijalankan.

Jika kita tak bisa pergi ke sana untuk membantu mereka keluar dari ketertinggalan, ya, kita bisa bersumbangsih melaui ide/gagasan/solusi untuk mereka. Ini sudah zamanya kolaboratif, bukan eranya menarik garis batas dengan bangsa lain.

Saya megkritisi penulis seperti ini bukan karena atas dasar sentimen pribadi. Tidak, tentu saja. Hanya saja, sebagai langkah memeriksa/menyanggah/menyaring opini--argumentum ad rem (mengutip konsep Dialektika a la Socrates).

Faktanya, diskursus kemiskinan dan/atau ketimpangan di TL tidak bisa disederhanakan begitu saja. Sungguh amatlah kompleks.

Saya punya beberapa teman yang tinggal di Dili, ibukota Timor Leste. Kurang lebih, dari penuturan mereka, saya belajar bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di sana sama seperti permasalahan kemiskinan yang kita hadapi di Indonesia.

Lantas, apakah bertolak dari fakta itu rakyat TL berhasrat untuk bergabung kembali ke NKRI? Sekali lagi, tidak sesederhana itu. Wong negara kita sedang sibuk berbenah dan pada dimensi tertentu bangsa kita belum mampu menawarkan angin surga untuk bangsa lain kok.

Lebih lanjut, perlu digarisbawahi juga bahwa, kemiskinan yang mendera hampir setengah rakyat TL sebanding dengan perkembangan positif lintas sektor di bumi Laro Sae.

Hal itu sangat wajar, saya pikir. Kendati, sebagai negara kecil yang sumber pendapatannya berasal dari ekspor migas, ekonomi mereka memang sangat rentan. Belum lagi di tengah fenomena harga minyak dunia yang kisut beberapa tahun terakhir ini.

Sebagaimana disebutkan, sumber utama pendapatan negara TL berasal dari ekspor minyak bumi dan gas alam. Sementara itu sektor non-migas kurang diandalkan. Sehingga ada kecendrungan untuk pemenuhan kebutuhan makanan dan sebagainya, mereka harus mengimpor.

Bila menukil data, pada 2017 misalnya, PDB Timor Leste sebesar USD 2,552. Sementara PDB pada Desember 2020 turun ke USD 2,356. Sumber PDB itu dari dana migas, angkutan, wisata, perdagangan dll, atau 78%. Sementara untuk pertanian hanya 18%. (Kompas.com)

Hal ini amat kontras, karena mayoritas rakyat TL bekerja di sektor pertanian sebagai petani. Dan tercatat mereka hanya mampu berkontribusi sekitar 18% untuk PDB. Itu berarti sektor pertanian kurang berperan aktif dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi di TL.

Dengan begitu sebagai bahan obrolan saja, saya berpikiran bahwa, sudah sepantasnya pemerintah TL dan masing-masing stakeholder saat ini bersama-sama mendorong sektor pertanian di negaranya untuk makin produktif. Suatu sisi, hal ini dilakukan sebagai upaya melepas ketergantungan yang tinggi pada sektor migas dan impor bahan pokok makanan.

Sektor pertanian lahan kering di TL saya kira bisa dimanfaatkan dalam hal ini. Entah itu diolah dengan cara sistem irigasi tetes dan sebagainya.

Dan saya kira, insinyur pertanian di TL banyak yang bisa diandalkan. Atau bisa juga berkolaborasi dan belajar dengan insinyur dari negara tetangga seperti Indonesia, misalnya.

Pertanian lahan kering di TL saya pikir adalah sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana soal memulainya dan memberdayakan petani saja. Semoga langkah ini bisa membawa ekonomi TL bangkit dan kesejahteraan petani bisa digapai.

Akhir kata, semoga artikel ini dilihat sebagai kritik dan otokritik yang membangun dan membawa manfaat. Terima kasih dan Salam(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun