Tulisan ini merupakan babaran opini, pilihan sikap saya dalam menyigi wajah pertanian Manggarai di masa sekarang dan yang akan datang.
Pada diskursus pertanian kali ini juga, saya sudah memetakan kerangka berpikir yang dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Tujuannya jelas, agar tulisan ini terarah pada poin-poin yang akan dibahas.
Baik. Mari kita mulai dari poin/sub judul yang pertama:
1. Pangan, Sayuran, dan Buah Lokal
Pada galibnya, Manggarai adalah salah satu reksa wilayah yang paling subur di Pulau Flores, NTT. Dengan begitu, usaha pengembangan pertanian dengan bercocok tanam sangat mungkin dilakukan di Manggarai.
Umumnya jenis tanah yang terdapat di Manggarai adalah tanah oxiosol. Sebagaimana tanah oxsiosol dapat kita temukan di wilayah yang beriklim tropis basah dan cocok untuk perkebunan. Untuk warna tanahnya itu merah hingga kekuningan.
Bertolak dari sederet keunggulan topografi itu pula, banyak petani di Manggarai yang menggeluti usaha di bidang perkebunan dan persawahan.
Di sana mereka menanam anekaragam tanaman pangan seperti padi, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Sementara untuk tanaman hortikultura, mereka menanam berbagai jenis sayur seperti bayam, kol, brokoli dan lain-lain. Hingga dari kelas buah-buahan seperti durian, rambutan, salak, pisang dan seterusnya.
Hanya saja, usaha di bidang pertanian ini masih belum sepenuhnya dikembangkan oleh masyarakat. Maksud saya, karena hasil dari produk pertanian ini sebagian besar hasilnya untuk dikonsumsi sendiri dan belum berorientasi pada penjualan--untuk menghasilkan uang.
Tapi, seiring dibukannya pasar rakyat di sejumlah desa selama kurun waktu dua tahun terakhir ini, periode 2018-2020, hasil pertanian tadi utamanya diprioritaskan untuk mencari laba dari transaksi jual-beli di pasar.
Meski, kegiatan ekonomi ini sifatnya masih temporal. Dalam artian, karena harus disesuaikan dengan musim berbuah hingga pascapanen.