Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Hesiodos dan Etos Kerja "Duat Gula We'e Mane"

18 Desember 2020   21:28 Diperbarui: 19 Desember 2020   07:57 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaum perempuan dan laki-laki secara gotong royong menanam benih padi di lahan kering di Desa Gunung, Kec. Kota Komba, Kab. Manggarai Timur, Flores, NTT, Sabtu (24/11/2018)(KOMPAS.com/ MARKUS MAKUR)

"Manusia harus bekerja lantaran dewa-dewa tetap menyembunyikan makanan. Sebab jika tidak, dengan mudahnya kamu akan mendapatkan dalam sehari untuk apa yang kamu butuhkan setahun" [Hesiodos, filsuf sekaligus penyair Yunani kuno]

Begitulah filsafat kerja ala Hesiodos. Menurutnya, manusia harus bekerja karena untuk urusan perut dan pemenuhan kebutuhan hidup, kita perlu bekerja secara ekstra untuk mendapatkan hasilnya.

Tidak ada yang instan memang. Berikutnya, Hesiodos juga ingin berpesan bahwa bekerja juga punya segmentasi ekonomi. 

Dalam hal ini, selain hasil dari bekerja itu untuk dinikmati sendiri, selebihnya bisa dijual untuk mendatangkan uang. Secara khusus bagi para petani yang bekerja di sektor pertanian, misalnya. Mengingat sektor satu ini sangat vital dan bersentuhan langsung dengan hajat hidup banyak orang. 

Begitulah simplifikasinya. Setidaknya, penjelasan di atas merangkap sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti: mengapa manusia bekerja? Dan untuk apa manusia bekerja?

Dalam kebudayaan agraris masyarakat Manggarai, Flores, ada sebuah keyakinan bahwa untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, kita perlu bekerja dengan tekun. Ihwal dengan tekun bekerja kita akan menjadi pribadi yang hidup dan menghidupi.

Baik itu, misalnya, bekerja dengan mengolah lahan untuk bercocok tanam, menjadi nelayan dan seterusnya. Intinya bekerja untuk menghasilkan sesuatu, demi bertahan hidup.

Etos kerja dan/atau ethos inilah yang dimaksudkan oleh Hesiodos dan yang dihidupkan oleh masyarakat Manggarai hingga kini. Bahwa, bekerja itu adalah bagian dari sikap dan karakter orang Manggarai.

Duat Gula We'e Mane

Pada galibnya, "Duat Gula We'e Mane" merupakan sebuah istilah yang menjelaskan karakter masyarakat Manggarai yang di dalamnya terdapat etos kerja tinggi. Dalam hal ini mereka yang bekerja di kebun dari pagi hingga sore hari, tanpa kenal lelah.

Selain merujuk pada alokasi waktu, istilah ini dapat diartikan juga sebagai sikap dan/atau tindakan yang terdorong oleh orientasi (nilai) budaya agraris terhadap etos kerja.

Lebih lanjut, bagi orang Manggarai yang tidak punya jiwa kerja atau sama sekali malas bekerja disebut ata ngonde. Orang seperti ini akan dicap sebagai manusia aneh di tengah masyarakat.

Aneh, karena bagaimana mungkin dia bisa makan dan bertahan hidup tanpa bekerja dan menghasilkan sesuatu? Begitulah kira-kira.

Sebaliknya, bagi mereka yang giat dan punya jiwa kerja disebut ata seber. Tolok ukurnya adalah apa yang telah dihasilkannya dan seberapa efeknya (baca: maslahat) bagi manusia lain.

Sebenarnya, ada banyak istilah yang menggambarkan keutamaan bekerja bagi masyarakat Manggarai. Selain istilah duat gula we'e mane, ada pula istilah dempul wuku tela toni dan weri mesik todo lor yang sama-sama berarti setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh kelak akan memetik hasil yang memuaskan.

Sebagian besar istilah ini pada dasarnya diwariskan secara turun-temurun dan/atau diajarkan lewat sekolah lisan oleh nenek moyang ke generasi Manggarai setelahnya.

Duat gula we'e mane adalah pola pertanian tradisional

Masyarakat Manggarai pada umumnya berprofesi sebagai petani. Entah itu petani padi, pekebun, peternak hingga nelayan. Sehingga bekerja di ladang sudah menjadi kosekuensi logis.

Dengan bertolak dari fakta itu, akibatnya segala sesuatu selalu dilihat dari tempat di mana ia berpijak. Karena petani adalah profesi mayoritas dan tanah adalah sumber penghidupannya, maka segala upaya dan energi sepenuhnya dikerahkan ke sana.

Bahkan adakalanya petani yang sampai bermalam dan tinggal dalam waktu yang lama di kebun. Entah itu karena motifnya menjaga tanaman dari serangan hewan dan semacamnya.

Tapi memang, saya pikir, hal-hal semacam itu wajar-wajar saja. Wajar, karena tindakan seperti itu adalah manifestasi dari pikiran yang terdorong oleh orientasi (nilai) budaya agraris terhadap etos kerja.(*)

Salam cengkeh!

*Penulis adalah seorang petani picisan yang masih belajar tentang kebudayaan Manggarai*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun