Lebih lanjut, bagi orang Manggarai yang tidak punya jiwa kerja atau sama sekali malas bekerja disebut ata ngonde. Orang seperti ini akan dicap sebagai manusia aneh di tengah masyarakat.
Aneh, karena bagaimana mungkin dia bisa makan dan bertahan hidup tanpa bekerja dan menghasilkan sesuatu? Begitulah kira-kira.
Sebaliknya, bagi mereka yang giat dan punya jiwa kerja disebut ata seber. Tolok ukurnya adalah apa yang telah dihasilkannya dan seberapa efeknya (baca: maslahat) bagi manusia lain.
Sebenarnya, ada banyak istilah yang menggambarkan keutamaan bekerja bagi masyarakat Manggarai. Selain istilah duat gula we'e mane, ada pula istilah dempul wuku tela toni dan weri mesik todo lor yang sama-sama berarti setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh kelak akan memetik hasil yang memuaskan.
Sebagian besar istilah ini pada dasarnya diwariskan secara turun-temurun dan/atau diajarkan lewat sekolah lisan oleh nenek moyang ke generasi Manggarai setelahnya.
Duat gula we'e mane adalah pola pertanian tradisional
Masyarakat Manggarai pada umumnya berprofesi sebagai petani. Entah itu petani padi, pekebun, peternak hingga nelayan. Sehingga bekerja di ladang sudah menjadi kosekuensi logis.
Dengan bertolak dari fakta itu, akibatnya segala sesuatu selalu dilihat dari tempat di mana ia berpijak. Karena petani adalah profesi mayoritas dan tanah adalah sumber penghidupannya, maka segala upaya dan energi sepenuhnya dikerahkan ke sana.
Bahkan adakalanya petani yang sampai bermalam dan tinggal dalam waktu yang lama di kebun. Entah itu karena motifnya menjaga tanaman dari serangan hewan dan semacamnya.
Tapi memang, saya pikir, hal-hal semacam itu wajar-wajar saja. Wajar, karena tindakan seperti itu adalah manifestasi dari pikiran yang terdorong oleh orientasi (nilai) budaya agraris terhadap etos kerja.(*)
Salam cengkeh!
*Penulis adalah seorang petani picisan yang masih belajar tentang kebudayaan Manggarai*