Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Larangan Merayakan Natal dan Tipe Manusia Dekaden

21 Desember 2019   04:25 Diperbarui: 24 Desember 2019   09:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu mengendus berita bahwa didua reksa wilayah dalam satu provinsi di tanah air melarang penganut agama terntentu merayakan hari raya keagamaannya.

Usut punya usut, ternyata pelarangan beribadah dan merayakan hari raya keagamaan ini sudah diberlakukan sejak lama. Terhitung semenjak memasuki awal tahun 2000an. Bahkan para pemangku jabatan disana memaksakan umat tertentu untuk membuat sebuah perjanjian agar tidak boleh merayakan hari raya keagamaannya. Miris memang.

Jujur, saya benar-benar muak membaca berita tersebut. Karena bukan hanya kali ini saja terjadi. Dibeberapa darah lain juga kasusnya hampir mirip-mirip. Saya pula mengurungkan niat untuk berperang ludah dan berdebat kusir tidak jelas di medsos.

Lantas ada apa sih dengan isi kepala orang-orang ini? Memangnya adakah doktrin agama dan ajaran kitab suci yang mengajarkan demikian? Atau ini hanya sebatas sentimen sosial terhadap satu golongan dan ciri primodialisme terhadap satu aliran kepercayaan?

Kok saya sendiri merasa kasus-kasus seperti ini biasa saja ya. Apa mungkin karena saking sering terjadi barangkali, atau memang sudah tidak perduli lagi dan bosan karena memang acapkali masalah-masalah seperti ini dibiarkan membeku begitu saja dan tidak jelas ujung pohonnya?

Bingung saya. Padahal niat berkumpul dan melakukan ibadah bersama itu untuk tujuan baik dan memuliakan kebesaran Tuhan. Tidak ada yang pincang dan salah sebenarnya. Tapi kok dilarang ya? Saya jadinya bodoh sendiri bila terus berkutat dan jungkir balik melulu mempertanyakan hal ini.

Saya pikir ada baiknya cabut saja undang-undang no 29 tahun 1945, yang menjamin dan melindungi masyarakat Indonesia dengan latar belakang agamanya yang diakui bahkan aliran kepercayaan sekalipun. Karena dalam implementasinya belum bisa menjanjikan afeksi.

Dimana peran negara dalam hal ini? Lihat saja betapa kacau balaunya praktik "onggokan sampah" intolerasi ditengah masyarakat dewasa ini. UU sudah tidak bisa lagi menjamin kebebasan beribadah, negara sudah gagal melindungi hak warga negara untuk melakukan ritual keagamaan.

Sampai kapan negara ini hidup dalam kepura-puraan dan penuh omong kosong berdalilkan UUD? Munafik rasanya!

Lucu memang ya. Kendati demikian, para oknum-okum yang melarang kegiatan peribadatan ini yang nota bene merupakan umat beragama juga. Bagaimana sih cara mereka menafsirkan agama, Tuhan dan isi kitab suci? Apa yang mereka pelajari sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun