Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tugas Paling Berat

16 Desember 2022   05:47 Diperbarui: 16 Desember 2022   05:56 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugas Paling Berat (gambar: prisonfellowship.org, diolah pribadi)

Tidak bisa dipungkiri, tugas utama yang dijalankan seorang bhikkhu adalah praktik Dhamma hingga tercapainya Tujuan Akhir. Namun, sebagai bentuk relasi sosial yang semestinya, seorang bhikkhu juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan pembinaan spiritual kepada para perumah tangga.

Selain karena memang kebutuhan hidupnya secara penuh ditopang oleh perumah tangga, para perumah tangga sesungguhnya juga memiliki potensi yang tidak berbeda dalam mencapai Padamnya Derita. Jika merujuk kepada Pustaka Suci, tidak sedikit perumah tangga yang mencapai tingkatan kesucian saat mendengar Dhamma.

Terkait dengan tugas pembinaan tersebut, kalau boleh jujur bagi saya pribadi yang paling berat bukanlah membina para cendekiawan atau mereka yang sudah sering praktik Dhamma. Justru itu adalah kesempatan bagi saya untuk kembali mempelajari yang saya belum pahami secara teoretis. Terlebih, bisa jadi ada hal-hal yang belum saya ketahui tetapi mereka sudah mengetahuinya. Ini berarti ilmu yang baru untuk saya. Akan tetapi, berhadapan dengan warga binaan lembaga pemasyarakatan adalah yang tersulit saat ini. Apresiasi saya berikan kepada para rama dan ramani pandita yang memiliki jadwal rutin untuk memberikan dukungan spiritual kepada mereka.

Sejauh ini, dua kali saya diundang untuk memberikan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Kali pertama di Lapas Kelas IIA, Karawang, pada tahun 2019. Saat itu saya masih sebagai samanera. Kali kedua di Lapas Narkotika Kelas IIA, Jakarta Timur, pada tahun 2022. Istimewanya, saya tidak sekadar memberikan wejangan, tetapi juga memberikan wisuda upasaka, sebuah upaca pengukuhan atau deklarasi tekad bagi perumah tangga yang beragama Buddha.

Hal yang tersulit bagi saya adalah masih munculnya persepsi bahwa mereka telah melalui sisi terburuk dalam hidup mereka. Hidup di balik jeruji tidak hanya soal sanksi hukum, tetapi juga terkait sanksi sosial, dan bahkan penghakiman kepada diri sendiri. Barangkali ini persepsi yang keliru pula. Siapakah saya yang berhak menghakimi? Bukankah setiap makhluk adalah pewaris perbuatannya sendiri?

Terlebih lagi, memahami bahwa pada dasarnya hampir setiap makhluk terjerat dengan keinginan untuk mempertahankan kehidupan serta takut akan kematian. Jeratan tersebut membuat kita semua terkadang terpaksa melakukan yang belum tentu sesuai dengan kehendak hati sebenarnya. Jika kita merenungi bahwa segala sesuatu bisa muncul karena serangkaian sebab yang saling bergantungan, bukankah lantas kita semua juga turut andil terhadap keberadaan mereka di tempat tersebut?

Pemikiran-pemikiran seperti itu yang kerap menghantui saya, apakah sebelum atau setelah menjalankan tugas pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Karena, bilamana salah berbicara sedikit saja, memungkinkan untuk menyinggung mereka yang tengah berusaha untuk bangkit.

Seperti misalnya, ada satu penghuni yang masuk ke lembaga pemasyarakatan karena ditemukan memiliki narkotika dalam kopernya. Menurut yang bersangkutan, dia telah dijebak. Sebelumnya dia hanya ingin menagih utang kepada seseorang. Seseorang tersebut memberikan koper yang ternyata berisi zat terlarang.

Mendengar kisah tersebut, kita tidak bisa menghakimi pula siapa yang salah dan siapa yang benar. Akan tetapi, yang bisa kita ketahui adalah orang tersebut sedang berjuang menerima kenyataan yang sulit diyakininya. Jika memang yang disampaikannya adalah kebenaran, dia bukan seorang bandar, bukan pula pengguna, tetapi terkena kasus narkotika.

Di balik semua kesulitan tersebut, saya menyadari bahwa itu sesungguhnya salah satu kesempatan lain untuk praktik Dhamma yang nyata. Seseorang yang sudah benar-benar memahami Dhamma akan bebas dari penghakiman, karena penghakiman tersebut bersumber dari pembandingan. Pembandingan adalah salah satu belenggu yang harus dilepaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun