Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Kala Air Hujan Merenungi Perasaan

7 November 2022   06:06 Diperbarui: 7 November 2022   07:25 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Kala Air Hujan Merenungi Perasaan (gambar: wallpaperaccess.com, diolah pribadi)

Setelah melewati musim kemarau yang panas dan kering, di penghujung bulan Oktober ini, musim hujan akhirnya tiba. Di musim hujan udara cenderung terasa sejuk, pepohonan yang asalnya meranggas karena kekeringan, mulai memunculkan tunas baru, pucuk-pucuk daun mulai bermunculan di ranting-ranting muda. Tanah menjadi begitu lembab, tak menyisakan debu sedikit pun.

Sore ini begitu sejuk, duduk di teras rumah ditemani secangkir teh, sambil memandangi sisa-sisa hujan yang mengguyur cukup deras sejak siang hari tadi, sangatlah menyenangkan.

Tiba-tiba, tanpa diundang sebuah perasaan muncul. Aku sangat mengenalnya karena "dia" kerap kali muncul dan setiap kemunculannya menyisakan bara didalam hati, amarah, dan kebencian. Perasaan yang lahir dari sebuah peristiwa yang sudah sangat lama terjadi, tapi perasaan ini masih ada dan selalu ada.

"Aaaahhhhh itu lagi" pikirku.

Dan untuk meredam sakit hati, pikiran mulai sibuk mengulang semua yang pernah dibaca seperti, "Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, kebencian hanya memberi penderitaan, kebencian hanya bisa dikalahkan oleh cinta kasih," dan seterusnya.

Aroma teh yang kusesap mengingatkanku pada retret meditasi "Zen, dalam secangkir teh."  Ingatanku dibawa kembali ke saat itu, suasana yang hening, tenang, dan damai. Teringat ceramah waktu itu yang membahas tentang "Tiada api yang sedahsyat api nafsu".

Segera kutuliskan di mesin pencari, mbah Google yang sakti, menjawab dalam waktu yang singkat, ternyata ini adalah bagian dari sabda Guru Agung kita, syair lengkapnya berbunyi seperti ini:

"Tiada api yang menyamai nafsu, tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian, tiada jaring yang dapat menyamai ketidaktahuan, dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan."

Ya... inilah yang selalu membakarku selama ini, api nafsu, cengkraman kebencian, jaring ketidaktahuan, dan arus keinginan. Tapi mengapa? Bukankah selama ini saya tahu? Aku mencoba menelusuri perasaan ini dan inilah biang keladinya: "Dia telah menghancurkan aku" 

"Aku atau ke-Aku-an" adalah jaring kegelapan batin atau ketidaktahuan, dan api nafsu yang untuknya keserakahan, kebencian, dan keinginan jahat muncul ke permukaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun