Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Monolog Meditasi: Mengikis Kilesa yang Membakar Batin

9 Mei 2022   19:38 Diperbarui: 9 Mei 2022   19:41 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monolog MEDITASI: Mengikis Kilesa yang Membakar Batin (gambar: medium.com, diolah pribadi)

Aku mewarisi keyakinan dalam Buddhisme ini dari kedua orangtua, tetapi seperti kebanyakan keturunan Tionghoa di Indonesia, mereka sebenarnya lebih pas disebut sebagai pengamal kepercayaan menurut tradisi Tiongkok (Konfusius) yang bercampur dengan beberapa aspek praktik dari Agama Hindu Bali.

Dengan latar belakang seperti ini, aku tidak mengenal Buddhisme sejak dari mula, melainkan hanya pada saat sekitar masa remajaku, maka jangan pula berharap tahu tentang meditasi.

Aku ingat ketika pertama kali melihat dan akhirnya menemukan sebuah buku petunjuk meditasi Buddhis. Buku tersebut adalah buku yang mengajarkan meditasi pernapasan dengan menggunakan pelafalan kata "Buddho". Bud diucapakan dalam hati saat menarik napas, dan Dho ketika menghembuskan napas.

Tidak seperti dewasa ini, pada masa itu sangatlah sulit mencari buku-buku atau panduan bermeditasi. Juga, ada semacam pandangan salah atau keliru, suatu ketakutan bahwa praktik meditasi bisa membuat pelakunya jadi gila.

Misalnya seperti yang pernah dikatakan oleh salah satu kerabatku ketika beliau mengetahui aku tertarik belajar meditasi. Niatnya baik, beliau tak ingin aku celaka seperti salah satu saudaranya yang menjadi gila gara-gara menekuni ajaran spiritual tertentu yang mungkin dalam persepsi beliau ajaran itu adalah laku tapa atau meditasi.

Aku beruntung akhirnya kini memiliki kebiasaan bermeditasi setiap hari, sebuah praktik yang semakin lama semakin menjadi gaya hidup global.

Seperti segala hal, pada mulanya selalu berat. Duduk bersila menyadari napas masuk dan keluar, berusaha untuk selalu eling, sekadar lima menit sudah terasa sangat lama. Semangat kadang berkobar kadang melempem, dan pada saat-saat tertentu malah terasa bahwa yang kulakukan ini adalah pekerjaan sia-sia tak berguna dan buang-buang waktu (padahal, katanya, waktu adalah uang, dan aku tak suka buang-buang uang). Tapi toh aku tetap bermeditasi, terus beupaya setiap hari mendisiplikan diri untuk minimal sekali mempraktikkan meditasi duduk secara formal.

Targetku tidak muluk-muluk, cukuplah jika meditasi menetap menjadi kebiasaan baik dan suatu kebutuhan yang seakan-akan tanpa menjalankannya barang sehari aku akan mati seperti orang yang kehabisan napas.

Lalu seiring waktu yang terasa sangat lama, pelan-pelan sekarang mulai kusadari bahwa ini bukanlah praktik yang buang-buang waktu. Meskipun dalam kadar yang masih amat sangat rendah, manfaat-manfaat dari olah batin ini mulai kusadari.

Pandanganku tentang dunia berubah, caraku menanggapi suatu pengalaman keseharian pun sedikit-dikit bergeser ke arah yang lebih positif, toleran, berempati, sabar dan bijaksana (yeeiii, bukan nyombong!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun