Hari itu saya bahagia. Putra sulungku menghadiahkan sepotong burger merk terkenal. Ia membelinya lewat ojol. Jarang terjadi momen seperti ini.
Saya ragu. Sebabnya pada hari itu, saya bertekad melatih diri dengan tidak makan lewat tengah hari. Istilah Buddhisnya adalah Attasila.
Namun, saya kembali berpikir.
Apa yang dilakukan si sulung adalah perbuatan baik. Seharusnya, sebagai ayah, saya dapat memberikan kesempatan kepadanya untuk berbuat kebajikan. Menanam karma baik kepada orang tua besar pahalanya.
Benar saja. Keputusan itu tidak salah. Karma baik itu ditanam, saya pun memanennya. Burger itu lezat rasanya. Campuran keju, selada, dan daging sapi, amboi enaknya. Terasa nyaman di lidah, gurihnya hingga ke leher.
Ditambah dengan saus "cinta kasih" dari si sulung. Ia khusus membeli buat papanya. Tidak berlebihan kalau ini merupakan burger terenak yang pernah saya makan.
Esok hari. Kami berdua berjalan santai di sore hari. Si sulung menanyakan rasa burger tersebut. "Tentu enak,"Â jawab saya.
Si sulung lantas membocorkan rahasianya - saat burger dipesan, terjadi error pada aplikasi. Maksud hati hanya memesan satu, apa daya jadi dua.
Itu alasan terbaik menunjukkan rasa sayangnya kepada orangtua. Daripada dibiarkan basi, mending dimakan papa.
Mendengar penjelasan si Sulung, bumi terasa bergetar, langit seakan bergelegar.