Mohon tunggu...
grover rondonuwu
grover rondonuwu Mohon Tunggu... Buruh - Aku suka menelusuri hal-hal yang tersembunyi

pria

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wajib dan Haram di Mata Politikus

8 Mei 2019   20:02 Diperbarui: 4 Oktober 2019   02:59 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, menghembuskan tagar 2019 GantiPresiden adalah Haram. Alasannya karena kampanye Pilpres 2019 telah usai. Jadi narasi Ganti Presiden tidak relevan lagi.

Pernyataan Mardani itu  secara politis terkesan  rational  dan  mencerahkan.

Kesan  rational artinya, PKS  percaya pada  sebuah prosedur metode ilmu pengetahuan. Mereka bukan partai bumi datar. Mereka mengedepankan akal sehat. Karena itu mereka tidak ragu pada perhitungan "Quick Count" walaupun proses "Real Qount" masih berjalan.

Kesan mencerahkan   artinya, mereka menerima kekalahan dan mengakui kemenangan lawan.Dengan demikian sebagai oposisi, mereka ikut menyiapkan suatu iklim yang kondusif  bagi berkembangnya demokrasi Indonesia yang sehat.

Pertanyaan kritis disini, mengapa Mardani tidak mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi-Amin. Bukankah mengucapkan kata selamat atas kemenangan, adalah bagian dari sopan-santun politik. Mengapa mesti menggunakan kata "Haram".

Jika tagar 2019  Ganti Presiden pasca Pilpres-Pileg adalah haram, maka dari sudut pandang logika, tagar 2019 Ganti Presiden sebelum Pilpres-Pileg tentu saja adalah wajib. Begitu hukum logika.

Tapi kata perintah  "Wajib" dan "Haram" itu diambil dari istilah hukum agama (Islam), bukan dari istilah politik.

Wajib artinya, suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama Islam yang telah dewasa dan waras. Jika perkara itu dilakukan maka akan mendapat pahala. Jika tidak melakukannya maka akibatnya adalah dosa.

Haram adalah perkara yang tidak boleh dilakukan. Jika melakukan perkara yang dilarang itu, maka upahnya adalah neraka.

Jadi Mardani Ali Sera bersama tim besarnya  memberi perspektif agama pada upaya pemenangan Prabowo-Sandi. Bahwa memenangkan kubu 02 adalah bagian dari perjuangan iman, yang wajib hukumnya. 

Nah,  karena perjuangan memenangkan Prabowo-Sandi adalah wajib, maka upaya pemenangan itu harus dipandang sebagai  panggilan suci, yang "sakral".

Metode sakralisasi sebuah perjuangan politik kekuasaan, pernah dilakukan ketika pemilihan Gubernur DKI tahun 2017. Memilih Anies-Sandi adalah wajib. Memilih Ahok- Djarot, terancam tidak bisa  disholatkan. Dan terbukti hasilnya efektif.

Ketika metode sakralisasi sebuah perjuangan politik kekuasaan tidak berhasil mencapai tujuan,seperti pada Pilpres 2019 ini, maka apa yang sebelumnya sakral segera diralat menjadi "Profan".

Sebenarnya  apa yang ditetapkan sebagai "Wajib" dan "Haram" oleh agama seperti yang ditulis dikitab suci, tidak gampang  dirubah begitu cepat.

Butuh pertimbangan yang sangat matang untuk menjustifikasi apa yang sebelumnya  wajib sekarang haram, atau sebaliknya.  Lagi pula yang berhak mengatakan apa itu wajib dan haram mesti datang dari lembaga agama yang kompeten.

Mardani Ali Sera menetapkan apa yang "Wajib", lalu merubah ketetapan itu sebagai "Haram" dalam tempo yang cepat. Perubahan drastis "Wajib" menjadi "Haram" ditentukan oleh politikus, bukan oleh lembaga agama.

Jadi politikus bukan hanya menginstrumentalisasi agama sebagai institusi, tapi lebih dari pada itu. Apa yang doktrinal dan fundamental dalam agama diinstrumentalisasinya juga demi tujuan politik kekuasaan. Ini sebenarnya politik menghalalkan segala cara.

Kita lihat untuk mencapai tujuan politik kekuasaan, ulama-ulama dimobilisasi. Mereka ditempatkan difront,  sebagai alat pemenangan sekaligus sebagai  alat pembenaran, untuk mencapai tujuan itu. 

Terjadi saling eksploitasi antara politik dan agama. Politikus mengeksploitasi agama, agamawan menikmati "privilese" dari politikus.

Tapi gejala instrumentalisasi agama untuk tujuan politik, bukan hanya terjadi dikalangan Muslim mayoritas. Dikantong-kantong Kristen seperti di Sulut dan didaerah-daerah lain, mimbar-mimbar gereja digunakan secara massive oleh politikus untuk tujuan kekuasaan.

Untuk mengsakralisasi tujuan politik kekuasaan, Gereja tidak menggunakan kata "Wajib" dan "Haram", melainkan menggunakan istilah Kristiani, seperti "diberkati", "diselamatkan", "menerima kelimpahan", jika memilih pasangan 01, atau memilih partai A, dstnya.

Pendeta dan pejabat gereja menikmati "privilese" dari politikus. Mereka menjual mimbar untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan jangka pendek.

Sangat mengherankan para pendeta dan alim ulama itu merasa karirnya berhasil, ketika menjadi bagian dari politik  kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun