Metode sakralisasi sebuah perjuangan politik kekuasaan, pernah dilakukan ketika pemilihan Gubernur DKI tahun 2017. Memilih Anies-Sandi adalah wajib. Memilih Ahok- Djarot, terancam tidak bisa  disholatkan. Dan terbukti hasilnya efektif.
Ketika metode sakralisasi sebuah perjuangan politik kekuasaan tidak berhasil mencapai tujuan,seperti pada Pilpres 2019 ini, maka apa yang sebelumnya sakral segera diralat menjadi "Profan".
Sebenarnya  apa yang ditetapkan sebagai "Wajib" dan "Haram" oleh agama seperti yang ditulis dikitab suci, tidak gampang  dirubah begitu cepat.
Butuh pertimbangan yang sangat matang untuk menjustifikasi apa yang sebelumnya  wajib sekarang haram, atau sebaliknya.  Lagi pula yang berhak mengatakan apa itu wajib dan haram mesti datang dari lembaga agama yang kompeten.
Mardani Ali Sera menetapkan apa yang "Wajib", lalu merubah ketetapan itu sebagai "Haram" dalam tempo yang cepat. Perubahan drastis "Wajib" menjadi "Haram" ditentukan oleh politikus, bukan oleh lembaga agama.
Jadi politikus bukan hanya menginstrumentalisasi agama sebagai institusi, tapi lebih dari pada itu. Apa yang doktrinal dan fundamental dalam agama diinstrumentalisasinya juga demi tujuan politik kekuasaan. Ini sebenarnya politik menghalalkan segala cara.
Kita lihat untuk mencapai tujuan politik kekuasaan, ulama-ulama dimobilisasi. Mereka ditempatkan difront,  sebagai alat pemenangan sekaligus sebagai  alat pembenaran, untuk mencapai tujuan itu.Â
Terjadi saling eksploitasi antara politik dan agama. Politikus mengeksploitasi agama, agamawan menikmati "privilese" dari politikus.
Tapi gejala instrumentalisasi agama untuk tujuan politik, bukan hanya terjadi dikalangan Muslim mayoritas. Dikantong-kantong Kristen seperti di Sulut dan didaerah-daerah lain, mimbar-mimbar gereja digunakan secara massive oleh politikus untuk tujuan kekuasaan.
Untuk mengsakralisasi tujuan politik kekuasaan, Gereja tidak menggunakan kata "Wajib" dan "Haram", melainkan menggunakan istilah Kristiani, seperti "diberkati", "diselamatkan", "menerima kelimpahan", jika memilih pasangan 01, atau memilih partai A, dstnya.
Pendeta dan pejabat gereja menikmati "privilese" dari politikus. Mereka menjual mimbar untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan jangka pendek.
Sangat mengherankan para pendeta dan alim ulama itu merasa karirnya berhasil, ketika menjadi bagian dari politik  kekuasaan.