Mohon tunggu...
A.S. Adam
A.S. Adam Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sajalah...

1+1=11

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semut

30 Juni 2015   04:48 Diperbarui: 30 Juni 2015   04:51 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KOLONI semut: mungkin ribuan, mungkin jutaan jumlahnya. Mungkin, berkilo-kilo jaraknya berjalan mendatangi sumber makanan. Membentuk barisan rapi pada jalur yang dibuatnya. Mereka tidak menyia-nyiakan sisa-sisa makanan—bahkan benda-benda—yang dianggapnya bermanfaat. Mereka bekerja hingga menjelang malam. Lalu berhenti, istirahat.

Begitu juga dengan manusia yang hanya memiliki ketahanan tidak lebih dari delapan jam untuk beraktifitas. Manusia butuh waktu tidur minimal enam jam.

Jika kita pernah mendengar “tangi esok rejekine okeh”, bisa jadi semut adalah salah satu tetangga manusia yang terlebih dahulu memberikan contoh cara memanfaatkan waktu yang baik. Kekonsistenan semut bisa dijadikan sebagai bahan kajian bagi manusia, bahwa pada umumnya tidak ada mahluk yang bergerak tanpa sebab. Manusia harus memenuhi kebutuhannya untuk keberlangsungan hidupnya. Tentu ini tidak mengurangi jatah manusia sebagai mahluk hidup yang diberi akal.

Beberapa semut saya pilih untuk ditandai—tidak lebih dari tiga ekor—terus melakukan aktifitas tiada henti. Bahkan dari lobang di tanah, semut yang sudah ditandai itu keluar-masuk lobang dalam waktu singkat terus-menerus. Mulai pagi hingga senja mendekati malam. Barangkali semut juga diciptakan mempunyai rasa lelah seperti halnya manusia.

Semut yang kerap dianggap binatang kecil, yang mudah “terpijak” mahluk hidup yang lebih besar, justru bukanlah mahluk lemah. Semut binatang kuat dengan segala kelebihannya. Ia mahluk hidup yang menghargai pagi, siang dan malam. Memanfaatkan waktu dengan tepat. Fokus dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

Selama ini kita hanya mengetahui dari film-film, atau cerita-cerita anak, bahwa semut berkerja atas dasar perintah sang ratu. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan mahluk berakal seperti manusia? Kepada siapa manusia bekerja? Dan untuk apa?

Sejak ribuan tahun lalu manusia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya: terutama semut. Adakah manusia yang menghendaki dirinya sebagai peneliti bisa mengetahui secara pasti bahwa semut telah ada sebelum manusia? Yang saya dengar selalu diawali dengan kata dugaan/diduga. Ini artinya kita belum mengetahui secara pasti dari manusia-manusia yang mengatasnamakan peneliti. Berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan tentu merupakan orang yang ahli, banyak pengetahuan; berkecimpung dalam ilmu pengetahuan. Siapa pun dapat menjadi ilmuwan. Hanya di Indonesia seorang ilmuwan tidak diakui sebagai ilmuwan jika tidak punya “stempel” resmi.

Barangkali manusia harus merubah cara berpikir, bahwa ilmuwan atau peneliti belum tentu benar terhadap yang dilihatnya—jika masih berdasarkan dugaan/diduga! Bukankah manusia sudah memiliki ilmu titen sejak lahir? Bahkan tidak sedikit pula—yang bukan peneliti atau ilmuwan—justru dapat membaca sesuatu dari mahluk hidup lain. Di sinilah barangkali siapa pun dapat menjadi ilmuwan atau peneliti, dengan syarat tidak menduga-duga.

Segala di dunia itu pasti; tidak menduga-duga, atau kebetulan. Maka mahluk manakah yang selalu menduga-duga jika bisa menemukan makanan saat lapar? Begitu pula semut yang selalu dapat menemukan segala kebutuhannya secara pasti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun