Mohon tunggu...
Rifkyansyah G
Rifkyansyah G Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menetap di bekas ladang orang

We blame our time though we are to blame

Selanjutnya

Tutup

Money

Institusionalisme Pertanian

22 Mei 2019   19:57 Diperbarui: 22 Mei 2019   20:05 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berdasarkan laporan BPS seperti yang banyak dikutip media nasional, ekspor pertanian Indonesia meningkat signifikan. Besaran volumenya maupun nilai transaksinya. Mentan Amran, dalam beberapa kali wawancara dengan media, menyebutkan bahwa di 2018 total volume ekspor pertanian mencapai 42 juta ton. Nilai ekspornya kurang lebih sebesar 22 milyar dollar amerika.

Peningkatan ini adalah bagian dari tren meningkatnya ekspor pertanian mulai beberapa tahun belakangan. Ini tentunya sesuatu yang menggembirakan. Sebab berarti pertanian di tanah air dapat dikatakan berhasil menjalankan tiga fungsinya ; menjadi basis ketahanan pangan, mengerek PDB Indonesia dan tentu saja memperbaiki perekonomian masyarakat. Khususnya mereka yang berprofesi kepada petani. Untuk fungsi ketiga ini ada harapan agar terus menerus meningkat. Apalagi Kementan sudah mencanangkan program kemitraan antara petani dan eksportir.

Tapi kemudian jika kita merubah sedikit fokus pandangan kita, ada beberapa problematika yang menanti di depan mata. Di antara yang dapat kita sebutkan adalah menurunnya kwalitas tanah akibat dari penggunaan tanah yang terus menerus. Kwalitas tanah mempengaruhi kwalitas tanaman. Penurunan kwalitas tanah akan berdampak secara negatif pada tanaman dan seluruh mata rantai di belakangnya. Masalah ini adalah masalah yang dihadapi para petani di belahan dunia lainnya. Di Inggris misalnya, mulai ada gerakan dari para petani : membiarkan lahan mereka vacant setelah panen. Mereka juga berhenti membajak begitu selesai panen. Tujuannya agar tanah dapat kembali kepada kondisi terbaiknya untuk ditanami.

Masalah kwalitas tanah itu berbarengan dengan masalah kekeringan yang mempengaruhi suplai air. Tapi di Indonesia dengan iklim tropisnya suplai air tidak menjadi masalah. Problem utamanya justru adalah suplai petani.

Menyadur dari laporan situs Tirto, BPS mencatat bahwa Indonesia 'defisit' petani. Tercatat sekitar enam juta petani berumur di atas 65 tahun. Ada lima juta petani berumur 55 - 64 tahun. Tujuh juta petani dengan usia di atas 45 tahun. Dan enam juta petani lainnya berumur 35 hingga 44 tahun.

Total petani Indonesia ada sekitar 26 juta orang. Jika dikurangi dengan kelompok umur di atas maka petani dengan usia produktif persis hanya sekitar tiga jutaan. Itu berarti kerja-kerja pertanian menjadi tidak produktif.  Di samping itu,  ini menunjukan bahwa kita mengalami defisit petani muda. Lebih dari itu laporan itu juga menyebutkan bahwa anak muda baik yang dating dari keluarga petani maupun bukan, tidak punya aspirasi untuk menjadi petani

Kita bisa mengatakan bahkan jika masalah kwalitas tanah itu diselesaikan, persoalan pertanian Indonesia tidak akan berhenti disitu. Sebab apa gunanya ada tanah yang baik kwalitasnya tapi minus stok petani untuk mengelolanya.

Di sinilah masalahnya. Pada laboran. Masalah laboran itu sendiri berakar pada mentalitas dan cara masyarakat memandang profesi petani.

Mungkin karena bertani adalah bentuk paling primitif dalam sejarah pekerjaan manusia, maka profesi petani dianggap paling belakang. Jika kita sebutkan satu persatu misalnya secara berurutan, sofware maker, manajer perlengkapan dan petani bawang, maka yang paling diminati tentu saja yang pertama dan yang kedua. Sedang menjadi petani bawang dianggap bukan cita cita. Tapi lebih sebagai pilihan terakhir yang terpaksa diambil.

Maka jalan keluarnya adalah bagaimana pandangan terhadapa profesi petani dirubah. Pemerintah dalam hal ini kementan mesti berusaha mengangkat citra profesi bertani itu di hadapan masyarakat. Tentu saja tuntutan idealnya bukan bagaimana kementan membuat setiap orang di republik berprofesi sebagai petani. Namun bagaimana membuat kegiatan pertanian itu sendiri atraktif sebagai pilihan karir di masa mendatang.

Frame kegiatan pertanian harus dirubah  dari frame perbuatan mulia seperti di lagu-lagu itu. Kepada  frame  kesempatan menjanjikan. Pandangan masyarakat bahwa bertani lebih merupakan kegiatan kekeluargaan juga mesti digeser. Dan sebagai gantinya pertanian sebagai kegiatan institusional yang bertujuan profit.

Jika frame ini sudah mapan di tengah masyarakat maka akan lahir dua paradigma. Pertama bahwa bertani equivalen dengan enterpreneurship. Petani adalah pengusaha. Bukan buruh.  Paradigma kedua adalah bahwa pekerjaan bertani adalah pekerjaan manajerial. Tidak lagi sebagai pekerjaan kumuh berpeluh.

Dua paradigma ini akan melahirkan pikiran bahwa pertanian adalah karir yang menjanjikan. Sekaligus juga akan mendorong mekanisasi proses bertani sebagaimana yang berlaku pada industri. Bentuknya mungkin seperti penggunaan robot multi purpose yang membuat pekerjaan petani lebih mudah. Yang pada gilirannya akan mendongkrak jumlah produksi pertanian itu sendiri.

Merubah pikiran tentang pertanian kepada pikiran tentang  institusi seperti di atas juga menguntungkan pemerintah. Karena hubungan pemerintah dengan petani  akan bergeser dari kegiatan santun menyantuni. Di mana petani dipandang sebagi pihak lemah yang perlu terus diberdayakan. Berubah menjadi hubungan  Goverment to Bussines. Pekerjaan Kementan hanya membuat tender, mencanagkan target nasional dan mengawasi penyelenggaraan program-program tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun