Mohon tunggu...
Satriyo Wibisono
Satriyo Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa S1 Filsafat

Menulis itu menjembatani, antara yang superfisial dan yang fundamental.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merefleksikan Bajakah dari Mata Martin Heidegger

14 Agustus 2019   12:00 Diperbarui: 14 Agustus 2019   17:30 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tumbuhan Bajakah. (sumber foto: Orator.id)

Beberapa hari terakhir, dunia kesehatan dibuat gempar seiring ditemukannya obat Kanker. Namanya Bajakah. Tumbuhan endemik hutan Kalimantan ini disebut-sebut mampu mematikan sel kanker dalam tubuh seorang penyintas kanker. 

Seperti disebutkan dalam tulisan kompas.id berjudul "5 Fakta Tanaman Bajakah yang Diklaim dapat Sembuhkan Kanker", di dalam tanaman ini terdapat kandungan saponin, fenolik, steroid, terpenoid, tannin, alkonoid, dan terpenoid. 

Kelimanya memiliki fungsi meningkatkan imunitas tubuh, mematikan sel kanker, mengkonstruksi DNA yang rusak, dsb. Adalah Anggina Rafitri dan Asya Aurelaya Maharani yang merupakan dua siswi SMAN 2 Palangkaraya yang menginisiasi penelitian atas khasiat tanaman ini.

Ditemukannya khasiat Bajakah menjadi momen tersemainya harapan baru. Hal ini menyiratkan berkas-berkas kemenangan bagi dunia kesehatan yang selama ini terus berupaya memenangkan medan laga melawan penyakit Kanker ini. Implikasinya, hal ini akan dengan sendirinya memperpanjang umur hidup seorang manusia. 

Maka dari itu, tidak lama lagi manusia akan dengan mudah meletakkan kekhawatirannya. Tidak mengerankan, seiring ditemukannya khasiat Bajakah, seolah manusia tengah mempersiapkan "pesta perpisahannya" dengan identitasnya sebagai mangsa dari penyakit kanker, salah satu penyakit paling mematikan itu. Dengan kata lain, ditemukannya obat-obatan alternatif semacam Bajakah ini, menjadi sebuah pengalaman eksistensial yang menyelamatkan manusia dari "kedapatmatiannya" (mortalitas).

"Dengan kata lain, ditemukannya obat-obatan alternatif semacam Bajakah ini, menjadi sebuah pengalaman eksistensial yang menyelamatkan manusia dari "kedapatmatiannya" (mortalitas)."

Mendapati fenomena yang ada, sebuah pertanyaan nakal agaknya  menarik diajukan pula. Mengapa sih manusia susah-susah mengupayakan semua ini? Ada begitu banyak riset di berbagai dimensi kehidupan agar manusia dapat hidup enak, nyaman, dan tanpa gangguan. Tidak terkecuali berbagai riset mengenai obat-obatan penangkal penyakit kanker ini. 

Lalu, ini semua buat apa sih? Seorang filsuf Jerman seperti Martin Heidegger akan dengan mudah mengatakan bahwa manusia melakukan macam-macam tetek bengek karena ia menemukan diri terbatas. Ada suatu titik dimana manusia harus mengucapkan selama tinggal kepada kehidupannya. 

Masih menurut Heidegger, manusia tak lain adalah Sein zum Tode-suatu "Ada" yang bergerak menuju kematian. Realitas kematian menjadi sesuatu yang tak terhindarkan bagi hidup sebuah "pengada" seperti manusia. 

Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman.(sumber foto: newyorker.com)
Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman.(sumber foto: newyorker.com)

Alih-alih menjadi fenomena yang tampaknya gelap dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, kematian direfleksikan secara apik oleh Heidegger. Baginya, mortalitas inilah yang kemudian membantu manusia mengarahkan hidupnya. Mendapati hidupnya terbatas, manusia justru perlu mengisi keterbatasan hidupnya dengan sesuatu yang menghindarkan hidupnya dari absurditas dan rutinitas kosong yang itu-itu saja. 

Mortalitas inilah yang kemudian memantik manusia agar mengupayakan berbagai hal dalam hidupnya, termasuk meningkatkan daya sintasnya. Hanya ketika menyadari mortalitasnya (dan dengan demikian dihadapkan dengan keterbatasannya) manusia mampu melompat melampaui tembok pembatas yang ada pada dirinya. Hidup yang terbatas ini kemudian dapat dijalani oleh seorang manusia dengan arah serta tujuan yang jelas. 

Alih-alih menanti kematiannya semata, hidup yang serba terbatas ini justru dapat dijalani secara bernas oleh seorang manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan, sekalipun sebuah perjalanan panjang untuk menerimanya, kematian menjadi sebuah fenomena yang bersambung rapat dengan kebermaknaan.    

"Mendapati hidupnya terbatas, manusia justru perlu mengisi keterbatasan hidupnya dengan sesuatu yang menghindarkan hidupnya dari absurditas dan rutinitas kosong yang itu-itu saja."

Penemuan khasiat tumbuhan Bajakah sebagai obat Kanker merepresentasikan uraian di atas. Mortalitas manusia (yang termaktub dalam penyakit kanker) yang semula dipandang sebagai sebuah absurditas, ternyata dapat dimaknai secara berbeda. Ini justru menjadi titik pijak sebuah lompatan bernama Bajakah. 

Keterkaitan antara kanker dan Bajakah menjadi sebuah fenomena yang secara populer dinamakan blessing in disguise. Selain itu, fenomena yang terjadi di atas merepresentasikan kembali keunggulan suatu "pengada" bernama manusia. Manusia, pada dirinya memiliki potensi untuk dapat memaknai realitas secara berbeda.

Manusia tidak puas menerima keadaan yang ada dan membiarkan dirinya terhanyut di dalamnya. Tidak mengherankan apabila potensi semacam ini terakumulasi, hidup seorang manusia akan menjadi sebuah pentas kehidupan yang indah sekaligus sarat makna. Meskipun demikian, daya sintas manusia yang (tampaknya) mampu mengatasi kematian, tetap perlu diletakkan dalam kerangka keterbatasannya. 

Maksudnya, alih-alih mampu mengatasi kematian, ada bahaya kesewenang-wenangan dalam diri manusia. Ini sangat berbahaya. Jangan sampai potensi yang dimiliki oleh justru menjadi jalan untuk menindas baik sesama manusia, maupun alam yang mewadahi keberadaannya. Jangan sampai ini justru mengkebiri daya sintas baik manusia  maupun alamnya. Dengan kata lain, daya sintas seorang manusia dapat diimplementasikan sejauh ia tidak meniadakan daya sintas entitas lain di luar dirinya. 

"Dengan kata lain, daya sintas seorang manusia dapat diimplementasikan sejauh ia tidak meniadakan daya sintas manusia lain."

Dengan ditemukannya Bajakah sebagai obat Kanker, semoga ini menjadi titik tolak atas dua hal. Pertama, menyadari bahwa kehidupan yang ada di hadapan manusia tidak akan pernah habis-habisnya untuk diapresiasi sekaligus dimaknai secara unik. Kedua, menyadari bahwa daya sintas manusia tidak dengan sendirinya menghilangkan kematian itu sendiri. Kematian akan tetap ada. Batas kehidupan manusia akan tetap ada, baik dalam lingkup pribadi, komuniter, maupun mondial (meliputi seluruh dunia). 

Semoga keberhasilan manusia memenangi pertarungan di gelanggang pertarungan melawan penyakit mematikan ini, juga menjadi kesempatan manusia untuk menyadari kembali kebermaknaan hidupnya, kebermaknaan hidup sesamanya, dan tak lupa kebermaknaan entitas alamnya. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun