Mohon tunggu...
Satriyo Wibisono
Satriyo Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa S1 Filsafat

Menulis itu menjembatani, antara yang superfisial dan yang fundamental.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Becak yang Kini Bermotor

9 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 10 Agustus 2019   15:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Motor Betjak (Mobet). Sumber: wartawanita.com

Besi-besi yang terkelupas catnya menjadi penyusun rangkanya. Dari dulu hingga sekarang, yang sama tinggal jumlah rodanya. Tetap saja tiga. Lainnya telah berubah. Kayuh penggerak utama, diganti oleh mesin motor tua. Gemilangnya digeser oleh ojek daring berseragam hijau. Becak Motor dipaksa bertransformasi dan berjibaku di tengah kemajuan teknologi. Pemiliknya berusaha bertahan sebisanya.       

Siang itu, Matahari masih bersinar terik. Lalu-lalang pengguna jalan cukup bertolak belakang dengan suasana di sudut Jalan Kalibaru 6, Senen, Jakarta Pusat. Beberapa "motor betjak" (Mobet) tampak berbaris menunggu penumpang.

Tak terkecuali Hanafi. Tak banyak yang dapat diperbuat pengendara Mobet itu. Pria 63 tahun ini memilih bersembunyi di balik atap "kuda besinya" dari sengatan cahaya sang surya. Sambil menunggu penumpang, ia asyik bermain gim domino yang terdapat dalam telepon pintarnya. 

"Ya ginilah yang bisa saya lakuin, Mas. Lagi sepi juga penumpangnya. Dari pagi sampai siang ini cuman 2 kali narik." 

Hanafi dan Mobetnya
Inilah potret yang dialami oleh kebanyakan alat transportasi tradisional. Mereka harus bersaing dengan kemajuan teknologi, terutama dengan adanya ojek daring yang makin menjamur. Tak terkecuali Mobet. 

"Sejak saya narik (mobet) tahun 90-an, bedalah jumlah penumpangnya." Hanafi tak memungkiri, kehadiran alat transportasi daring turut mengurangi jumlah penghasilannya. Namun, ia bersyukur masih memiliki penumpang yang kerap membutuhkan jasanya. 

Pengguna jasanya cukup beragam. Mulai dari ibu rumah tangga, anak sekolah, hingga para penyedia jasa percetakan yang ada di sepanjang Jalan Kalibaru, Senen, Jakarta Pusat.

Meskipun demikian, Pria yang tinggal di kawasan Cakung, Jakarta Timur ini mengaku pendapatan yang diperolehnya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Apabila sedang ramai, Hanafi bisa membawa pulang Rp 100.000 di kantongnya. 

Jumlah itu telah dikurangi setoran Rp 20.000 yang harus diberikannya kepada juragan Mobetnya. Sebaliknya, apabila sedang sepi, kesedihan mau tak mau menghinggapi Hanafi.

"Kesedihan saya yang paling dalem itu kalo saya harus pulang nggak bawa uang, Mas.", ujar ayah tiga orang anak ini. Oleh karena itu, untuk menyiasati hal ini, Hanafi membolehkan istrinya untuk turut bekerja sebagai buruh cuci di sekitar rumahnya. 

Menjadi penarik Mobet adalah pilihan terakhir yang dapat diambil Hanafi. Pria yang pernah menjadi karyawan sebuah usaha konveksi ini mengatakan, tuntutan ekonomilah yang membuatnya memilih Bentor sebagai penyambung hidupnya.  

Di sisi lain, profesi sebagai penarik Mobet memang tidak menjanjikan pendapatan yang pasti. Inilah tantangan utama yang harus dihadapi Hanafi. 

Saat ditanya, apakah ingin beralih profesi, Hanafi mengatakan bahwa keinginan semacam itu ada di dalam benaknya sejak lama. Akan tetapi, ketiadaan modal menjadi alasan ia enggan meninggalkan Mobet tuanya.

"Sudah lama sih ingin membuat usaha. Misalnya, jualan lontong sayur. Tapi ya nggak ada modal. Mau apa lagi?"

Demi Anak dan Istri 
Hanafi mengakui, sekalipun ada dalam keadaan sulit, bebannya jauh lebih ringan saat ini. Tugas utamanya adalah menafkahi istri dan putri bungsunya yang kini duduk di bangku SMK.

Dua anaknya yang lain telah berkeluarga. Istri dan putri bungsu Hanafilah yang kemudian menjadi penyemangat bagi Hanafi untuk tetap bertahan sebagai penarik Mobet. 

Ketika rasa lapar menyeruak dari dalam perutnya, Hanafi kerap kali harus perhitungan betul terhadap ongkos yang akan dikeluarkannya. Sejak pukul 05.00 hingga 20.00, tak jarang Hanafi hanya makan dua kali. Ia tak tega makan enak selagi anak dan istrinya tak ada bersamanya. 

"Nggak ketelen mas itu makanan. Mau enak kaya apa kalo saya inget bini (istri) dan anak, itu makanan nggak ketelen", ujarnya sambil mengusap keringat di pelipisnya. 

Meskipun ada dalam keterbatasan ekonomi, sebagai seorang ayah Hanafi hanya berharap agar apa yang selama ini dilakukannya tidak sia-sia. Ia hanya berharap agar kerja keras yang diusahakannya dengan menarik Mobet dapat menjadi bekal bagi putri bungsunya. 

Hanafi tidak mencita-citakan sesuatu yang terlalu tinggi bagi anaknya. Sederhana saja. Ia hanya ingin agar putrinya menjadi pribadi yang berakhlak dan berakal budi baik. Ia ingin agar anaknya dapat menjadi dirinya sendiri sembari dengan tetap mengingat usaha yang ayahnya usahakan baginya.

Ilustrasi Mobet di Jalanan Jakarta. Sumber: ANTARA
Ilustrasi Mobet di Jalanan Jakarta. Sumber: ANTARA
Para Penyintas Jalanan
Kisah Hanafi adalah narasi kecil dalam geliat kemajuan zaman saat ini. Ia menjadi potret para pengendara moda transportasi konvensional yang mencoba bertahan di tengah tantangan zamannya. Mereka berinovasi dan bertransformasi. Kayuh mereka ganti dengan mesin. 

Kayu-kayu pelapis kendaraan mereka ganti dengan plat-plat besi. Tujuan mereka bukan merajai jalanan Jakarta kembali. Mereka hanya tidak ingin membiarkan asa mereka tergilas oleh kemajuan zaman. 

Hanafi dan kawan-kawan penarik Mobetnya hanya ingin mereka tetap hidup sekalipun harus terombang-ambing oleh kemajuan zaman. Mereka ingin hidup sekalipun menemukan diri sebagai para penyintas jalanan setiap hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun