Kompasiana - Optimisme, dalam sepak bola, adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi bahan bakar semangat yang membakar motivasi, namun juga bisa menjelma menjadi ilusi yang menyesatkan jika tidak diimbangi dengan realitas di lapangan.Â
Real Madrid, sang raja Liga Champions dengan segudang kisah remontada (comeback) heroik, kali ini harus menelan pil pahit kekalahan agregat telak 1-5 dari Arsenal.Â
Di Santiago Bernabeu, Kamis (17/4/2025) dini hari tadi, menjadi bukti bahwa tradisi dan mentalitas saja tidak cukup untuk menutupi kekurangan taktis dan performa di atas lapangan. Los Blancos takluk 1-2 dari Meriam London.
Narasi remontada memang kencang berhembus di kubu Madrid sejak kekalahan 0-3 di London.Â
Bentangan spanduk di laga kontra Leganes akhir pekan lalu yang secara implisit menyiratkan keyakinan akan membalikkan agregat, hingga pernyataan Jude Bellingham di konferensi pers tentang seruan "remontada" di dalam bus tim, semuanya mencerminkan kepercayaan diri yang tinggi.Â
Namun, kepercayaan diri tanpa fondasi taktis yang kokoh dan eksekusi yang presisi hanyalah angan-angan kosong.
Opini pribadi penulis, sejujurnya magis remontada tidak terasa sejak anthem Liga Champions dibunyikan semalam. Sekalipun skuad Arsenal compang-camping, kubu Los Blancos sangat rentan di laga terakhir melawan Leganes.
Pertandingan di Bernabeu akhirnya memperlihatkan jurang pemisah yang nyata antara harapan dan kenyataan. Arsenal, di bawah arahan Mikel Arteta, tampil dengan organisasi permainan yang solid dan pemahaman taktik yang matang.
Gol pembuka Bukayo Saka di menit ke-65, memanfaatkan kelengahan lini belakang Madrid dan kecerdikan Mikel Merino dalam memberikan assist, adalah buah dari skema serangan yang terencana dengan baik.
Respons Madrid memang cepat. Dua menit berselang, Vinicius Jr berhasil menyamakan kedudukan setelah memanfaatkan kesalahan antisipasi dari William Saliba.Â