Kompasiana - Fenomena anak picky-eater atau pemilih makanan bukanlah isu baru dalam dunia parenting. Namun, di era modern dengan segala kemudahan dan kelimpahan pilihan, tantangan ini terasa semakin mengakar.Â
Muncul sebuah metafora yang menarik, "Parenting VOC," yang menggambarkan gaya pengasuhan dengan standar ketat, terutama dalam hal makanan.Â
Orang tua dengan gaya ini cenderung bersikap keras, bahkan memaksa, agar anak mau melahap semua sajian di meja makan, tak terkecuali sayuran yang seringkali menjadi musuh utama bagi lidah anak-anak.
Ironisnya, di tengah upaya keras para "Orang Tua VOC" ini, akar permasalahan picky-eater justru mungkin terletak pada kelimpahan itu sendiri.Â
Bayangkan seorang anak yang tumbuh di lingkungan perkotaan. Setiap sudut jalan menawarkan ragam gerai makanan cepat saji, aneka jajanan berwarna mencolok, dan pilihan rasa yang memanjakan lidah.Â
Setiap kali makan di luar, memori rasa gurih, manis, dan praktis akan tertanam kuat di benak mereka. Pilihan yang terlampau banyak ini secara tidak sadar membentuk standar "enak" yang sempit dan seringkali menjauhi cita rasa alami dari sayuran dan makanan rumahan.
Di sisi lain, mari kita menengok kehidupan anak-anak di desa. Kontras dengan gemerlap kuliner kota, pilihan makanan di desa cenderung lebih terbatas dan sederhana. Namun, justru di sinilah letak potensi solusi bagi permasalahan picky eater.Â
Sayuran, bagi anak desa, bukanlah lagi momok yang harus diperjuangkan dengan paksaan. Mereka tumbuh melihat sayuran sebagai bagian tak terpisahkan dari keseharian. Apalagi jika sayuran tersebut berasal dari kebun sendiri -- kesegaran daun singkong yang baru dipetik, manisnya labu jepang yang ranum, atau lembutnya tekstur terung yang baru saja dipanen, memberikan pengalaman rasa yang otentik dan jauh berbeda dari sayuran yang telah melalui rantai distribusi panjang di perkotaan.
Satu pengalaman penulis di pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan gambaran yang menarik. Lauk ayam bukanlah hidangan sehari-hari, bukan karena ketiadaannya, melainkan karena pertimbangan budaya dan ekonomi.
Tradisi membeli ayam hidup per ekor, dengan konsekuensi biaya yang bisa membengkak hingga 100 ribu rupiah untuk konsumsi keluarga besar, membuat masyarakat di sana lebih bijak dalam memilih menu.Â