Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Brand Agency Owner

Pengamat Industri Kreatif. Pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Membedah Mindset "Pembeli Adalah Raja" dalam Industri di Indonesia

22 April 2025   03:30 Diperbarui: 22 April 2025   10:28 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Kerja sama bisnis (Shutterstock/Akarawut via Kompas.com)

Pernah dengar istilah "Pembeli Adalah Raja"?

Banyak sistem bisnis di Indonesia terutama di sektor tradisional, yang kurang teregulasi, atau banyak informal cenderung beroperasi dengan idiom "klien adalah raja". 

Adanya idiom ini membuat kita apabila di posisi yang mendapat pembeli atau klien merasa perlu menghormati pihak tersebut. Idiom tersebut seakan telah menjadi standard operating mindset dalam setiap adanya perjanjian bisnis. 

Meskipun begitu, di sisi lain, kondisi ini sering kali mengakibatkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam perjanjian bisnis, di mana klien atau perusahaan kemitraan dengan sumber daya keuangan merasa berhak untuk menetapkan aturan, bahkan dengan mengorbankan mitra, vendor, atau pekerja lepas.

Kali ini baiknya jika kita membahas mengenai bagaimana mindset dan istilah tersebut bisa berakar dalam konteks Indonesia maupun konsekuensinya bagi dunia bisnis. Serta apa yang dapat kita lakukan terhadap mindset ini dalam membangun usaha yang lebih kompetitif.

Ilustrasi tentang transaksi bisnis. (Sumber: bri.co.id)
Ilustrasi tentang transaksi bisnis. (Sumber: bri.co.id)

Bagaimana istilah serta kondisi itu bisa berakar mendalam di Indonesia?

Jika ditarik dari bagaimana kultur sosial Indonesia, secara mendasar Indonesia mendapat skor tinggi dalam hal jarak kekuasaan. Istilah ini dicetuskan oleh sosiolog Belanda Geert Hofstede untuk menyatakan adanya dimensi dimana sejauh mana penerimaan anggota lembaga atau organisasi yang kurang berkuasa di suatu negara dapat menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata [1]. 

Ciri dari budaya ini menyiratkan bahwa orang cenderung menerima dan mengharapkan hubungan hierarkis. Dalam kerangka seperti itu, bagaimana ketika ini diimplementasikan dalam bisnis, maka ini berarti orang yang membayar (biasanya klien) seolah-olah memiliki sebuah wewenang dalam wujud mata uang, dan konsekuensinya, bagaimana pekerja yang diberi uang seperti dikondisikan hingga ke level dimana untuk mempertanyakan setiap keputusan sang pemberi uang ini dapat dianggap suatu hal yang tidak sopan. 

Dalam masyarakat yang mengutamakan keharmonisan dan menghindari konfrontasi seperti Indonesia, kecenderungan ini termanifestasi menjadi tunduk pada tuntutan klien, meskipun tuntutan itu tidak masuk akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun