Pernah dengar istilah "Pembeli Adalah Raja"?
Banyak sistem bisnis di Indonesia terutama di sektor tradisional, yang kurang teregulasi, atau banyak informal cenderung beroperasi dengan idiom "klien adalah raja".Â
Adanya idiom ini membuat kita apabila di posisi yang mendapat pembeli atau klien merasa perlu menghormati pihak tersebut. Idiom tersebut seakan telah menjadi standard operating mindset dalam setiap adanya perjanjian bisnis.Â
Meskipun begitu, di sisi lain, kondisi ini sering kali mengakibatkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam perjanjian bisnis, di mana klien atau perusahaan kemitraan dengan sumber daya keuangan merasa berhak untuk menetapkan aturan, bahkan dengan mengorbankan mitra, vendor, atau pekerja lepas.
Kali ini baiknya jika kita membahas mengenai bagaimana mindset dan istilah tersebut bisa berakar dalam konteks Indonesia maupun konsekuensinya bagi dunia bisnis. Serta apa yang dapat kita lakukan terhadap mindset ini dalam membangun usaha yang lebih kompetitif.
Bagaimana istilah serta kondisi itu bisa berakar mendalam di Indonesia?
Jika ditarik dari bagaimana kultur sosial Indonesia, secara mendasar Indonesia mendapat skor tinggi dalam hal jarak kekuasaan. Istilah ini dicetuskan oleh sosiolog Belanda Geert Hofstede untuk menyatakan adanya dimensi dimana sejauh mana penerimaan anggota lembaga atau organisasi yang kurang berkuasa di suatu negara dapat menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata [1].Â
Ciri dari budaya ini menyiratkan bahwa orang cenderung menerima dan mengharapkan hubungan hierarkis. Dalam kerangka seperti itu, bagaimana ketika ini diimplementasikan dalam bisnis, maka ini berarti orang yang membayar (biasanya klien) seolah-olah memiliki sebuah wewenang dalam wujud mata uang, dan konsekuensinya, bagaimana pekerja yang diberi uang seperti dikondisikan hingga ke level dimana untuk mempertanyakan setiap keputusan sang pemberi uang ini dapat dianggap suatu hal yang tidak sopan.Â
Dalam masyarakat yang mengutamakan keharmonisan dan menghindari konfrontasi seperti Indonesia, kecenderungan ini termanifestasi menjadi tunduk pada tuntutan klien, meskipun tuntutan itu tidak masuk akal.