Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dari Jakarta ke Nusantara

19 Januari 2022   18:25 Diperbarui: 19 Januari 2022   18:34 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eloknya Jakarta Tempo Doeloe. Sumber: Grid.ID

Suatu keputusan, pasti menimbulkan pro dan kontra. Masing-masing disertai dengan alasan, mulai dari yang rasional hingga yang kurang rasional. Semuanya wajar-wajar saja dalam konteks negara demokrasi. Namun pada akhirnya, keputusan final akan dieksekusi oleh lembaga yang berwewenang untuk melakukannya. 

Saya, termasuk warga negara yang kepo mencaritahu dan mengikuti perkembangan, sejak ibukota NKRI diwacanakan lalu pada tahun 2019, benar-benar ditetapkan untuk dipindahkan ke Pulau Kalimantan. Tepatnya pindah ke Kawasan Sepaku, perbatasan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. 

Jakarta Tempo Doeloe

Jakarta memang benar-benar menjadi magnet yang menarik untuk didatangi. Selain sebagai pusat pemerintahan Indonesia,Jakarta pun menjadi kota terbesar pertama yang sibuk dengan bisnis, pendidikan dan segudang julukan lainnya. 

Sekedar membaca sejarah, Jakarta yang sekarang berbeda dengan awal mulanya. Paling tidak, sebelum menjadi Jakarta, kota yang terkenal dengan tugu Monas nya ini pernah memiliki sederatan nama: Sunda Kelapa (tahun 397-1.527), Jayakarta (1.527-1.619), Batavia (1.619-1.942), Djakarta (1942-1945) lalu menjadi Jakarta (1.945-sekarang). 

Jakarta Tempo Doeloe, dapat dipelajari di museum Sejarah Jakarta Fatahillah yang terletak di Jalan Taman Fatahillah. Jujur, saya baru sekali berkunjung ke sana di tahun 2006. 

Itu pun karena membawa orang tua yang kepengen melihat sejarah Jakarta, selain berkunjung ke Monas, melihat istana Presiden dari kejauhan, berkunjung ke TMII, Gedoeng Joeng 45, istora senayan, gedung DPR, tugu proklamasi, rumah laksamana muda maedah, dan tempat bersejarah lainnya. Maklum, ayah seorang guru SD dari pelosok  NTT yang hanya bisa melihat foto, atau menonton Jakarta lewat siaran TV hitam putih. 

Ketika mengamati dan juga membaca sejarah kota Jakarta, kita begitu disuguhkan dengan suasana kota yang apik, resik, nyaman. Tak ada kemacetan. 

Banyak pohon hijau dibandingkan dengan gedung nan tinggi di saat sekarang. Perkembangan tak bisa dihindari. Ledakan penduduk akibat kelahiran warga baru dan betambahnya penduduk akibat migrasi ke ibukota, tak bisa dihindari. Jakarta semakin berat, banjir tak dapat dikendalikan. Dan dampak sosial lain pun tak bisa dihindari.

Pro dan Kontra  Ibukota Nusantara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun