Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Bahane" sebagai Sarana Komunikasi dengan Leluhur

18 November 2021   17:37 Diperbarui: 18 November 2021   18:17 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku dawan atau Atoni (Atoin Meto) adalah salah satu suku terbesar di Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Suku ini terkonsentrasi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Kupang dan sebagian wilayah Kabupaten Malaka dan Belu (dawan R). 

Disebut Atoin Meto karena mendiami pulau Timor (Pah Meto) yang terkenal dengan musim keringnya, dimana musim hujan hanya berlangsung sekitar 3-4 bulan sepanjang tahun.

Sebagai suku yang akrab dengan alam dan leluhur, Atoin Meto meyakini adanya Uis Neno (Tuhan)  yang memiliki kekuatan untuk menyebabkan bencana atau rejeki yang datang melalui perantaraan leluhur dan kekuatan alam itu sendiri seperti petir, banjir, kekeringan, kelaparan, tanah longsor, penyakit, bahkan kematian. Karenanya, memohon agar Tuhan memberi rejeki dan keselamatan dari bahaya biasa dilakukan melalui upacara meminta (toit) kepada leluhur dan alam. 

Selain melakukan ritual adat di makam leluhur, batu atau pohon keramat, upacara  sering dilakukan di suatu bangunan mezbah pemujaan yang dinamakan Bahane yang ditanam di halaman depan rumah adat. Tempat ini ditata dari batu-batu plat sebagai dasar, lalu ada tiang khusus yang diambil dari kayu pilihan. Biasanya dari hau matane (kayu sono keling/rosewood) yang sebagiannya diukir. 

Salah satu tiang biasanya lancip dan pada atasnya ditancapkan batok kelapa muda yang airnya telah dipakai untuk mericik semua benda yang perlu diriciki (hanik). Tujuannya adalah untuk mendinginkan benda-benda tersebut sehingga tidak mendatangkan malapetaka bagi keluarga. 

Tiang lainnya dibuat rata dan di atasnya diletakkan batu plat yang biasanya dipakai untuk meletakkan nampan (kasu'i) berisi benda-benda yang menjadi syarat untuk melakukan ritual seperti gelang (niti), kalung kuno/muti (molo), sirih-pinang (puah-manus) dan beberapa jenis lainnya.

Melalui Bahane inilah, tetua suku yang terlatih akan melakukan ritual adat untuk berkomunikasi dengan leluhur, baik meminta rejeki maupun menolak bala. 

Dan diyakini, dikabulkannya  permintaan biasanya melalui tanda-tanda seperti panen yang berlimpah, bertambahnya ternak, sembuhnya seseorang dari sakit penyakit atau selamat dari marabahaya. 

Sementara mala petaka diyakini sebagai sesuatu peringatan atau siksaan dari Yang Maha Kuasa dan para leluhur karena adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh seseorang atau oleh suku yang bersangkutan seperti kematian, tersambar petir, kebakaran dan banjir.

Hingga kini, bahane masih anggun terpatok  di halaman depan setiap rumah adat. Semua suku memiliki bahane sendiri, sebab orang dari suku lain tidak bisa datang dan melakukan ritual adat di bahane suku lain. Semoga tradisi ini tak menghilang, seiring dengan perkembangan jaman dan terus dilestarikan dari generasi ke generasi. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun