Sesaat kupandangi gundukan tanah itu. Di dalamnya tertanam sebuah kenangan hidup yang sangat kusayangi, dan aku mengerti mengapa kenangan itu sangat kubenci hingga akhirnya kukubur di halaman belakang rumah ini.
****
Untuk kesekian kali aku bertemu dengan seseorang. Setelah mengalami beberapa kali patah hati, aku pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi, tapi kedatanganku ke sebuah perpustakaan yang biasa kudatangi membuatku harus mengingkari janji itu pada diri sendiri.
"Hai, aku Ernest," ucapku tanpa basa basi mengulur tangan untuk berkenalan. Perempuan itu tersenyum simpul menggenggam tanganku sambil menyebutkan nama ....
"Vanita."
Setelah perkenalan terjadi, dengan teratur dalam seminggu kami melakukan sekali pertemuan di perpustakaan itu. Perlahan dalam hubungan adalah faktor penting bagi dua orang yang menjalin kedekatan.
Sebagai laki-laki yang terlahir memikili ketampanan lebih, tentu saja mendapatkan kekasih tidaklah susah, tapi aku bukan buaya yang dengan mudah menabur cinta hampa.
Nama lengkapnya, Vanita Indriani. Ia perempuan berusia 28 tahun yang baik, berkulit kuning langsat dengan potongan rambut sebahu. Berpenampilan biasa perempuan pada umumnya, meski begitu bagiku ia sempurna.
Satu kali pertemuan yang rutin terjadi dalam seminggu itu mau tidak mau berlanjut menjadi tiga kali dalam seminggu. Hingga akhirnya aku tidak bisa menolak rasa untuk bertemu Vanita setiap hari.
Saat kau berusaha menolak perasaan berwarna merah jambu, maka rasa itu akan mengerjarmu. Menodongmu ketika kau terdiam dan mungkin akan merampokmu untuk menyerah kalah.