Mohon tunggu...
Binsar Antoni  Hutabarat
Binsar Antoni Hutabarat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, penulis, editor

Doktor Penelitian dan Evaluasi pendidikan (PEP) dari UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA. Pemerhati Hak-hak Azasi manusia dan Pendidikan .Email gratias21@yahoo.com URL Profil https://www.kompasiana.com/gratias

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PSBB di Rutan Hadapi Covid-19: Menyoal Pembebasan Napi Narkoba

2 April 2020   13:08 Diperbarui: 2 April 2020   13:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peraturan pemerintah tentang Pembatasan sosial berskala besar dalam kedaruratan kesehatan saat ini akan memberikan landasan hukum yang jelas bagi aparat keamanan untuk memberikan sanksi tegas terhadap mereka yang tetap membandel berhimpun dengan mengabaikan menjaga jarak fisik, khususnya menjelang ritual mudik tahunan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan kondisi penjara yang over kapasitas? Penerapan pembatasan sosial berskala besar  (PSBB) di penjara , di Rumah Tahanan (Rutan) dan lembaga permasyarakatan (Lapas), sejatinya bukan hanya membatasi pengunjung rumah tahanan, tapi juga setiap kamar-kamar tahanan itu harus memenuhi persyaratan menjaga jarak sosial.

Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tanggal 30 Maret yang menetapkan pembebasan 30.000 tahanan bisa dilihat sebagai pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Keluarga narapidana bukan hanya dilarang berkunjung kerumah tahanan karena kuatir terjadi penyebaran virus di rumah tahanan, tapi penghuni rumah tahanan juga harus diatur sedemikian rupa hingga memenuhi syarat social distancing, menjaga jarak sosial atau menjaga jarak fisik.

Penghuni rumah tahanan yang melebihi kapasitas bukan saja tidak manusiawi, tetapi juga melanggar kebijakan menjaga jarak sosial. Lapas Rutan perlu menerapkan pelaksanaan PSBB, bukan hanya membatasi jumlah orang yang berlalu lalang di rumah tahanan atau Lapas, tetapi juga ruang tahanan yang sesuai dengan kebijakan PSBB.

Terkait dengan pembebasan 30.000 tahanan itu Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), Nugroho menjelaskan, pembebasan puluhan ribu narapidana dan anak itu melalui mekanisme asimilasi dan integrasi, tidak diperuntukan bagi tahanan korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transaksional dan teroganisasi.

Surat Keputusan Menkumham itu lebih lanjut menerangkan, pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak merupakan upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di lapas, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan (rutan) dari pandemi Covid-19.

Saatnya membebaskan korban narkoba

Kompas.com melaporkan bahwa meskipun pemerintah mengeluarkan 30.000 tahanan, jumlah tersebut baru sekitar 11 persen penghuni rutan dan lapas yang dikurangi. Penghuni lapas masih sekitar 240.000, ini masih melebihi kapasitas lapas yang hanya bisa menampung   130.000 penghuni. Berarti masih sekitar setengah dari penghuni lapas yang ada saat ini harus dibebaskan untuk melindungi penghuni lapas dari ancaman viru corona.

Menkumham Yasona Laoly mungkin perlu mempertimbangkan usulan Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu Erasmus yang  menyarankan agar pemerintah mengupayakan pemberian grasi dan amnesti massal dengan mengutamakan narapidana lansia,  juga napi yang menderita penyakit komplikasi, perempuan hamil atau membawa anak, serta pelaku tindak pidana ringan di bawah hukuman dua tahun, pelaku tindak pidana tanpa korban, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan, hingga napi pengguna narkotika. 

Erasmus lebih lanjut berujar bahwa penghuni lapas berstatus pengguna narkoba perlu diprioritaskan untuk dikeluarkan. Penulis juga setuju dengan usulan Erasmus untuk mengeluarkan pengguna narkoba yang seharusnya dianggap korban narkoba dan wajib direhabilitasi bukannya dimasukkan ke Lapas, secara khusus mereka yang dijerat dengan pasal kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil dan tidak berasal dari sindikat pengedar narkoba. Kalau itu bisa dilakukan, maka Lapas tidak lagi over kapasitas. Negeri ini sudah sepatutnya memperlakukan penghuni Lapas dan Rutan secara manusiawi.

Regulasi di Indonesia menurut Menkumham Yasonna memungkinkan orang yang menyalahgunakan narkoba dapat dipenjara. Padahal pengguna narkoba semestinya diperlakukan sebagai korban yang harus di  rehabilitasi bukannya dikurung dalam penjara.

Darurat corona dikuatirkan juga akan menyasar rumah tahan, karena itu  ini waktunya menata lapas dan Ruran secara manusiawi. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk tidak lagi menahan mereka yang menjadi korban narkoba, tetapai merehabilitasinya pada  tempat rehabilitasi narkoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun