Mohon tunggu...
Arita Nugraheni
Arita Nugraheni Mohon Tunggu... -

Journalist//Die for par excellence of Marxist

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tidak Semua Rasa Sakit Bisa Diobati dengan Teh Manis Hangat

27 September 2016   20:01 Diperbarui: 27 September 2016   20:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berharap Bung dan Nona mafhum dengan judul di atas. Semoga kita sepengalaman mendapati situasi seperti: seseorang mendadak histeris, shock, hampir pingsan, atau muntah-muntah karena ihwal yang relatif menyedihkan cum menyakitkan. Ada satu keyakinan bahwa sense of crisis seseorang di dekat si pesakitan adalah dengan memberikan teh manis hangat (ya bolehlah ditambah sedikit pukpuk di pundak). Akhirnya, teh manis hangat hadir di manapun, di cuaca apapun, dan dalam praktik politik cinta siapapun.

Mengenai sense of crisisini, saya awali saja dengan cerita yang nggerusdan cukup nggatheli kalau tidak direnungkan:

Dua hari lalu, ada seorang tua yang terjatuh bagai batu ketika ia hendak berdiri dari duduknya. Buk! Dia terjatuh ke lantai semen tanpa perlawanan. Saat itu saya masygul dan meraba-raba apakah ada artikel “Pertologan Pertama pada Serangan Stroke” di otak saya. Sial! Nihil! Ini jelas akibat memilih membaca yang ngawang-ngawang (kiri pula) sampai lupa yang praktek-praktek.

Saya bergeming. Saya hanya bisa menyaksikan beberapa orang (yang masih sempat-sempatnya) berspekulasi ikwal penyebab terjatuhnya sang bapak tua, sementara yang lain mencoba segera membawanya ke puskesman. Lalu, hadirlah seorang ibu dalam panggung drama sore itu. Ia berlari masuk ke dapur sebuah warteg yang kebetulah tak jauh dari tempat duduk si bapak tua. Ibu itu meracik gula, teh, dan air panas menjadi the holy and only teh manis hangat. Disodorkanlah teh itu ke mulut si bapak tua yang (lagi-lagi dengan masygul saya katakan) sudah paralyzed. Tidak ada teh yang tertelan. Bapak itu, dengan tangan menggenggam di pipinya, sudah tidak dapat bergerak lagi.

Bung dan Nona, sebenarnya saya sedang tuna gagasan perihal hubungan antara manusia dan sekelilingnya. Di satu sisi, saya melihat kepedulian akan sesama itu masih ada. Tapi di waktu yang sama, saya juga harus melihat betapa usia dan penyakit bisa begitu bangsatnya membuat kita tidak berdaya. Well, tantangannya sekarang adalah membongkar sesuatu yang kita anggap sudah kita ketahui (kultur misalnya). Sesuatu yang sudah terlanjur dekat sehingga tidak sempat kita letakkan berjarak. Tidak sempat kita lucuti secara objektif. Teh manis hangat nyatanya tidak selalu pas dan akhirnya dipaksakan karena terlanjur diyakini sebagai pengetahuan turun temurun yang absah.

Kejadian sore itu sungguh merongrong hati saya. Pengetahuan yang diproduksi terus menerus menjadi sebuah gagasan yang melekat pada diri manusia, mandek di tataran praktik nir-wawasan. Kepekaan sudah ada, tapi setelah peka lalu apa? Stratak apa yang hendak dipakai untuk eksekusi? Semuanya tidak kita dapatkan begitu saja Bung dan Nona. Kenyataannya kita perlu menambah pengetahuan untuk responsif alih-alih reaksioner terhadap suatu perkara. Sama halnya dengan tidak semua luka bisa disembuhkan dengan albotil, tidak semua pengetahuan didapatkan dari warisan kultural.

Pengetahuan dan gagasan yang turun temurun itu harus ditinjau lagi dalam diri kita. Mereka melekat tanpa kita sadari. Meski demikian, tidak ada yang begitu saja ada sehingga keberadaanya bisa kita kritisi. Harus ada pengayaan, kalau perlu kita ganti dengan yang baru. Jangan juga menjadi terlalu retro dengan mempelajari pemikiran Socrates via Plato. Cukup cari jawaban, setelah sudah peka lalu apa?Agaknya memenuhi bagasi pengetahuan adalah koentji!  

Akhirnya..

Teh manis hangat tetap akan selalu ada dalam lokus sense of crisiskita. Bahkan ini bisa dikembangkan menjadi sebuah bisnis. Coba saja Bung dan Nona hitung. Teh manis hangat memiliki kans yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenangan untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi  kecenderungan generasi sekarang yang “dimarahin guru saja lapor Bapaknya”.  Kejadian sekecil “chat WA gak dibalas” bisa cukup mengguncang batin penyintas asmara.Dalam konteks sosial-antropologis, individu yang nelangsa karena hal tersebut sudah dapat digolongkan dalam kalangan butuh teh manis hangat. Jika keadaan masih seperti ini hingga tahun depan, teh manis hangat akan menjelma menjadi komoditi yang murah-mursyidah untuk menghubungkan manusia yang sedang nelangsa dengan yang kuat iman dan ngajinya. Atau manusia yang sedang patah arang dengan seorang revolusioner. Ini bisnis Bung dan Nona, connecting people. Haleluya!

Tabik

Marunda, 19 September 2016

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun