Mohon tunggu...
Grace AdvenesiaSebayang
Grace AdvenesiaSebayang Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mahasiswa

Setiap pagi kamu punya 2 pilihan, untuk tetap tidur dan melanjutkan mimpi atau bangun dan menggapai mimpimu. Pilihan ada ditanganmu !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Ayah dalam Mendidik Anak menurut Efesus 6:4

4 Desember 2019   11:58 Diperbarui: 4 Desember 2019   11:54 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendidikan dasar yang didapat seorang anak ialah melalui lembaga terkecil yang diciptakan Tuhan yaitu keluarga. Dalam mendidik anak, peran kedua orangtua sangat dibutuhkan. Namun, realita yang terjadi sekarang ini ialah yang cenderung mendidik anak ialah ibu. Sedangkan ayah melepaskan perannya ini dan membebankan peran pendidikan anak ini sepenuhnya kepada ibu. Ayah dianggap hanya berperan mencari nafkah di dalam kelurga.

Menurut KPAI pengasuhan ayah dalam mendidik anak hanya 27,9% sedangkan ibu lebih berperan yaitu 36,9%.[1] Minimnya peran ayah dalam mendidik anak juga dapat dilihat bahwa hampir semua buku mengenai cara mendidik anak dituliskan untuk ibu.[2]  Padahal setiap waktu di seluruh dunia, peran ayah lebih berharga daripada semua hal lain.

Father fact edisi kelima , national fatherhoood 2007 mengutip sebuah fakta bahwa anak-anak Amerika Serikat yang dibesarkan tanpa sosok ayah memiliki potensi 2 hingga 3 kali lebih besar untuk masuk penjara, kecanduan obat terlarang, tidak dapat menyelesaikan studinya di SMA, hamil di luar nikah, mengalami gangguan mental, dan mati dalam kondisi mengerikan.[3] Dari fakta di atas dapat kita simpulkan bahwa peran ayah dalam mendidik anak sangatlah penting. Penulis akan menjelaskannya melalui tinjauan Alkitab dengan melihat 3 tafsiran kitab Efesus yang ditulis oleh John R.W Stott, Warren W Wierbe, dan Matthew Henry mengenai mengapa dan bagaimana seorang ayah dapat menjalankan perannya dengan baik dalam mendidik anak menurut Efesus 6:4

Ketika ayah tidak melakukan perannya untuk mendidik anak sebagaimana mestinya, maka akan berakibat buruk bagi sang anak. Beberapa dampak buruk yang akan dihasilkan yaitu: pertama, dampak terhadap identitas dan peran seksual anak. Bagi anak perempuan peran ayah sangat penting .Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya remaja wanita dengan kisaran usia 13 sampai 17 tahun yang terjerumus dalam hubungan intim yang penyebab utamanya biasanya anak perempuan tersebut memiliki masalah dalam relasinya dengan ayahnya. Ketidakberhasilan ayah untuk mamantau pekembangan putri remajanya membuat putrinya tersebut mengincar dengan ganas lelaki lain untuk menggantikan sosok ayah yang terhilang dalam dirinya.[4] Sama hal nya dengan anak wanita, bagi anak laki-laki peran ayah juga penting. Gagalnya ayah dalam melakukan perannya membuat anak laki-lakinya jatuh kedalam homosexual. 

Anak laki-laki juga membutuhkan penerimaan dari sesama jenisnya. Ketika ayah menolak dia, maka ia pun mencari pria lain. Cara termudah untuk membuat ia diterima oleh pria lain ialah dengan memberikan tubuhnya untuk "dipakai" oleh pria lain.[5] Ibu yang dominan dan ayah yang lemah membuat anak laki-laki tidak dapat melihat kepada ayahnya untuk mendapatkan dukungan dalam permasalahannya sebagai seorang laki-laki.

Yang kedua, dampak terhadap psikologi anak.  Anak yang kurang mendapatkan peran ayah dalam pendidikannya sering terlibat dalam 7 masalah besar yakni 1) identitas yang tidak lengkap, 2) ketakutan yang tidak teratasi, 3) kemarahan yang tidak terkendali, 4) depresi yang tidak terdiagnosa, 5) perjuangan melawan perasaan kesepian, 6) kesalahan pahaman seksualitas, 7) kegagalan dalam hal keterapilan pemecahan masalah.[6]

Yang ketiga,dampak ayah yang tidak menjalankan perannya terhadap karakter dan kehidupan sosial anak.  Father fact edisi kelima , national fatherhoood 2007 mengutip sebuah fakta bahwa anak-anak Amerika Serikat yang dibesarkan tanpa sosok ayah memiliki potensi 2 hingga 3 kali lebih besar untuk masuk penjara, kecanduan obat terlarang, tidak dapat menyelesaikan studinya di SMA, hamil diluar nikah, mengalami gangguan mental, dan mati dalam kondisi mengerikan.[7] Zig Ziglar, mengutip perkataaan sahabatnya yang bernama Bill Glass, seorang penginjil yang memberikan penyuluhan hampir setiap minggu selama 25 tahun kepada pria dipenjara. Bill Glass mengatakan bahwa ia telah menemui para tahanan, dan tidak satupun dari mereka sungguh-sungguh mengasihi ayah mereka. 95% dari mereka yang berada dibawah ancaman hukuman mati membenci ayah mereka.[8] Perilaku menyimpang yang menjurus pada kriminalitas sering kali disebabkan karena ketidakhadiran ayah yang dapat mendidik anak bagaimana menjadi orang dewasa dan dapat menegur anak secara berwibawa ketika anak bersalah[9] .

Bagaimanakah peran ayah dalam mendidik anak menurut Efesus 6:4?

Dalam ayat ini Paulus membuat gambaran ayah sebagai yang bisa mengendalikan diri, pendidik yang ramah dan sabar. Namun sifat ini sangat bertolak belakang dengan sikap sang bapak Romawi dalam zaman Paulus. Berdasarkan pemikiran W. Barclay, "Bapak Romawi memegang dan menerapkan kekuasaan mutlak atas keluarganya. Ia boleh sesukanya menjual anaknya menjadi hamba, memaksa mereka bekerja di ladang bahkan dengan terbelenggu, dan menghukum mereka sampai pada hukuman mati karena kuasa hukum itu ada padanya".[10] Pada zaman Paulus juga ada kebiasaan dalam keluarga Romawi, ketika bayi lahir di dalam keluarga itu maka bayi itu dibawa kehadapan ayahnya, apabila ayahnya mengangkat bayi itu maka ayah itu berkenan kepada bayi itu dan mau menerimanya, namun apabila ayah itu tidak mengangkat bayi nya, itu berarti ayah itu tidak berkenan kepada bayi itu dan menolaknya. Bayi itu bisa dijual, diserahkan kepada orang lain atau bahkan dibuang sehingga bayi itu mati.[11]

Sikap ayah seperti inilah yang mendorong Paulus untuk menulis Efesus 6:4 ini. Melalui realita ini, Paulus menasihatkan orangtua agar: "janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu". Otoritas yang dimiliki orangtua bisa dengan gampang ia salahgunakan. Kerasnya tuntutan ataupun perintah yang tidak sesuai dengan umur anak, terlebih lagi anak yang belum punya banyak pengalaman, perlakuan kejam dan kasar, perilaku pilih kasih dan memanjakan akan merusak perkembangan anak. Perilaku menyepelekan, menghalangi kebijakan anak untuk berkarya, dan menghina juga akan merusak perkembangan anak. Perilaku-perilaku seperti inilah yang dapat membangkitkan amarah dalam hati anak.[12] Oleh karena itu dalam hal ini perlu orang tua perhatikan agar jangan bangkit amarah dalam hati anak mereka. 

Selanjutnya paulus melanjutkan nasihatnya : "didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Kata "didiklah" mengandung arti belajar melalui disiplin. Kata ini diartikan menjadi "menghajar" dalam Ibrani 12. [13] Ayah harus mendisiplin anaknya dengan kasih, bukan dengan kemarahan agar ayah jangan menyakiti tubuh maupun perasaan si anak atau mungkin kedua-duanya.[14] Sebelum menghajar anak, ayah harus mengetahui dengan jelas motif yang mendasari tindakannya tersebut, dan hindarilah "menghajar" anak pada saat ayah sedang marah.[15]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun