Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melihat Nasib Ideologi-ideologi

14 Mei 2019   19:45 Diperbarui: 14 Mei 2019   19:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tren dunia saat ini adalah liberalisme, sekularisme  yang ditempuh dengan model demokratisasi yang dianggap juga sebagai  pijakan untuk melindungi konsep hak asasi manusia yang disepakati masyarakat dunia, setidaknya oleh sebagian besar negara-negara dunia.  Liberalisme menghendaki persamaan dan pengakuan hak bagi seluruh umat manusia, baik hak individu maupun hak publik. 

Negara hanya dianggap sebagai fasilitator dalam mendukung tercapainya kebebasan tersebut, sebagai pencapaian yang lebih tinggi dari sekedar pencapaian tujuan negara.  Liberalisme sebagai cara pandang (filsafat) menghendaki kebebasan individu dalam bidang politik, ekonomi dan social, dalam  politik liberalisme menghendaki praktek demokrasi yang menjunjung hak-hak individu dan publick dan memberikan jaminan perlindungan terhadap potensi pelanggaran hak asasi.  

Liberalisme  dalam sektor politik popular disebut dengan demokrasi, walau dalam praktek kenegaraan masing-masing negara juga membutuhkan  penyesuaian, karena ada yang masih menamai dirinya sebagai kerajaan (Spanyol, Inggris, Belanda) tetapi dalam praktek mereka sangat demokratis. 

Tetapi ada juga yang berbentuk republik demokratik tetapi dalam pemerintahanya tidak demokratis (menindas), sehingga proses transformasi demokrasi sebagai produk liberalisme masing-masing negara juga melakukan modifikasi yang lebih kontekstual dibeberapa negara yang berbeda.

Liberalisme dalam bidang ekonomi menghendaki kebebasan melakukan tindakan ekonomi yang melampaui batas Negara dengan menyerahkan ekonomi dalam persaiangan ekonomi pasar, yang lebih sering disebut sebagai konsep kapitalisme yang menyerahkan  semuanya kepada permintaan dan penawaran dalam ekonomi.  Akan tetapi walau begitu banyak negara liberal yang mengikuti kesepakatan dagang internasional, tetap saja negara seperti Amerika yang kuat dan bebas, masih melakukan proteksi terhadap produk pertaniannya, apalagi negara-negara demokrasi yang baru berkembang dalam melakukan kebijakan ekonomi pasti melakukan proteksi ekonomi bagi penduduknya.  Problem besar liberalisasi dan kapitalisasi pasar adalah tidak ada batas kebebasan ekonomi untuk bergerak,  sehingga sering merusak sendi ekonomi rakyat yang belum siap dan memunculkan perlawanan karena ketidakadilan ekonomi yang menyebabkan menimbulkan gejolak di mana mana.

Agama Dalam Liberalisme

Liberalisme menghendaki sekularisasi agama, yakni bahwa urusan agama menjadi urusan masing pribadi manusia dan Tuhannya, negara tidak mengatur secara langsung dasar dasar konsep agama, tapi negara memberi jaminan setiap orang untuk melaksanakan kepercayaan atau agamanya.  Inilah menjadi kontra kelompok agama yang menginginkan norma-norma agama masuk dalam regulasi negara dan bisa bersifat memaksa karena menjadi hukum yang mengikat.  Terdapat kecurigaan bahwa  modernisasi dan sekularisasi menyebabkan kekosongan hati, yang pada akhirnya jalan untuk mengisi kekosongan itu  sekularisme dan modernisasi menyediakan seni dan budaya sebagai penawar kekosongan sebagai salah satu bentuk spiritualitas sekularisme.  Sekularisme yang ditopang oleh modernitas dalam banyak pengalaman akan menjadikan agama semakin plural, karena agama-agama  akan berkembang tafsirnya yang kemudian membentuk kelompok yang berbeda.

Liberalisme menghendaki demokratisasi dalam proses politik, dengan harapan akan membuka semua kanal-kanal kebebasan atas nama apapun, baik agama, budaya, ideologi politik, bahkan selera seksual, tentu saja dengan batasan aturan main yang di sepakati. Kebebasan kanal demokratisasi ini disatu sisi memberi peluang semua kelompok kepentingan untuk terlibat, tetapi banyak juga tidak yang memanfaatkan peluang ini, karena demokratisasi akan menciptakan moderasi banyak pihak dan akhirnya bermanfaat bagi pasar (kapitalisme).

Demokratisasi juga memungkinkan isme-isme yang lain tetap tumbuh, tetapi juga dibatasi adalah system nilai-nilai  yang disepakati yakni hak asasi manusia, yakni kebebasan berpendapat, menghormati hak hidup dan menghindari pemaksaan kehendak terutama dengan kekerasan.  Ini menimbulkan resistensi bagi ideologi yang dalam pencapaiannya mengijinkan kekerasan sebagai salah satu cara, ini juga yang membuat skeptisme para pendukung anti demokrasi, dengan menyatakan bahwa demokrasi adalah produk barat, walau tanpa sadar mereka dapat berpikir bebas dan bersikap adalah bagian dari manfaat demokrasi itu sendiri.

Negara-negara di era liberalisme  yang masih mendasarkan dirinya baik secara konstitusional maupun tidak, tetapi mengakui dan menggunakan syariat Islam dalam praktek kebijakan pemerintahan,mereka memberlakukan aturan syariat islam yang kontekstual dengan kondisi daerah, ada yang  ortodok seperti kerajaan Arab Saudi dengan mazhab tersendiri, atau yang masih bercampur dengan aturan-aturan yang biasa dipakai oleh negara sekuler, contohnya Malaysia, Brunei Darrusallam, terutama untuk daerah-daerah bekas jajahan, pengaturan hukum islam bercampur dengan hukum Kolonial.

Membuat kategori-kategori negara-negara yang menggunakan islam sebagai  konstitusi negara, tidak mudah.  Karena hukum Islam yang diterapkan di  negara Arab Saudi tentu berbeda dengan Mesir, Afganistan dan Pakistan, yang mengklaim diri sebagai negara yang berdasarkan syariah Islam. Belum lagi jika mulai beranjak ke negara islam di Kawasan asia dimana Islam bertemu dengan kultur/budaya setempat. Penerapan hukum islam yang kontekstual ini memang memungkinkan, karena Islam hanya menentukan pokok sistem nilai yang bergantung pada Quran dan Hadist, mengenai praktek lebih lanjut dalam pelaksanaan bisa di bicarakan lebih lanjut oleh para ahli-ahli Fiqih (ulama), melalui berbagai metode pendekatan (ijtihad dll).  Di Arab Saudi, Mesir, Afganistan, Pakistan, Maroko dll jelas menyatakan bahwa syariat islam sebagai dasar negara dan segala sesuatu produk peraturan dan kebijakan negara harus mengacu pada nilai atau pesan yang terdapat dalam Quran dan Hadist, Walaupun kemudian dalam praktek tidak semua sama, misalnya dalam hukum pidana, hukum potong tangan untuk pencurian, dan hukuman mati dengan dipancung tidak semua negara memberlakukan kecuali Arab Saudi. memang kemudian agak samar membedakan sesuatu yang bagian dari hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan bisnis karena karena bisa sekaligus ada, atau juga bisa juga dipisah-pisah, karena semua sendi kehidupan harus sesuai dengan aturan atau nilai yang ada dalam kitab suci dan hadist, jika melanggar maka ada sanksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun