Mohon tunggu...
Grace
Grace Mohon Tunggu... Freelancer - -

Just for fun. My life mostly revolves around movies, food, and dogs!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Transisi dari Desa ke Kota, Siapa Takut?

17 Desember 2018   13:49 Diperbarui: 17 Desember 2018   14:06 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Merantau bukanlah suatu hal yang mudah buat seorang perempuan. Ada banyak yang harus disesuaikan, mulai dari menahan perasaan meninggalkan orang tua hingga beradaptasi dengan lingkungan baru yang belum pernah dijalani sebelumnya. 

Tidak ada pilihan lain selain untuk bertahan dan tetap melakukan. Hal itu pula yang dirasakan oleh Efa Butar-butar, seorang perempuan dari desa yang memiliki cita-cita untuk bisa berkuliah. Setelah lulus dari kuliah, dia harus berpindah tempat lagi untuk mencari pekerjaan.

Ada ragam perjalanan yang telah dirasakan, suka, duka, hal yang lucu, sampai hal yang memalukan sekalipun. Kita bahas mulai dari suka.

Berita baiknya adalah bahwa keinginan untuk kuliah di luar kota bisa tercapai. Dan dari awal kisah inilah, cerita-cerita lain terbangun. Perjalanan dari Medan menuju Lampung ditempuh selama 4 hari 3 malam, dengan menggunakan bus ALS (Antar Lintas Sumatera). Di sana, penumpang pria tidak memiliki kepedulian dan toleransi yang baik. Dengan AC yang diputar sangat kencang, penumpang pria banyak merokok di dalamnya. Meskipun banyak penumpang perempuan dan bayi yang seharusnya tidak ikut "menikmati" asap rokok.

Setiba di Lampung, adaptasi pun dimulai. Adaptasi yang paling mencolok adalah suhu. Berangkat dari desa dengan hawa yang sejuk, segar, dan masih bisa dikategorikan wilayah yang dingin, kini dia harus tinggal di kota dengan kondisi yang panas dan sangat terik. Belum lagi, bahasa yang digunakan sangat jauh berbeda dengan yang di desa. Hal ini juga yang menjadi masalah utama dalam menghidupi kehidupan kampus.

Pernah pula urusan bahasa ini menjadi bahan tertawaan bagi dirinya yang belum terlalu fasih dalam mengikuti bahasa di kota. Misalnya, pengucapan kata kabel dalam bahasa batak dan bahasa Indonesia yang berbeda cukup signfikan, saat diucapkan di depan kelas membuatnya jadi bahan tertawaan seluruh isi kelas.

Malu? Tentu aja. Tapi, bermodal prinsip hidup "gak ada yang kenal, ngapain malu", bahan tertawaan itu pun ikut ditertawakannya saja dan dijadikan sebagai pembelajaran. Seiring berjalannya waktu, urusan bahasa ini juga membuatnya mendapatkan julukan "sok anak kota" dari teman-temannya yang masih berada di kampung, saat berkomunikasi baik itu secara langsung maupun online.

Tak jarang ledekan "cie, udah anak Jakarta lu?" didapatkannya saat keceplosan berbincang dengan teman di desa, apabila menggunakan gaya berbahasa di Lampung. Untuk itu, dirinya harus pintar-pintar juga menggunakan transisi bahasa. Gaya berbahasa di Lampung dengan teman-temannya yang baru, dan gaya berbahasa di desa dengan teman-teman yang berasal dari desa. Karena jika sampai salah sedikit, akan panjang urusannya.

Beradaptasi dengan bahasa setempat tak melulu buat urusan menjadi gampang. Lingkungan dengan agama yang berbeda pun membuatnya harus memutar otak agar diterima di lingkungan tersebut. 

Agak sial juga, ketika pada suatu waktu Efa bergabung dengan sekelompok teman lalu saling bertukar makan siang. Ketika dia dengan mudah saja nyomot makanan orang, tak satupun teman yang mau ambil makanannya. 

Awalnya ini menjadi pertanyaan yang cukup membuatnya tak nyaman. Namun, jika ingin ditanyakan langsung, pasti tidak akan enak juga. Teman-temannya mengira makanan yang dibawanya mengandung bahan-bahan yang tidak halal. 

Sialnya lagi, sikap sekelompok temannya itu ditunjukkan dengan sangat frontal di depan banyak orang dan di depan dirinya. Selain memalukan, kapok rasanya untuk bertukar makanan kembali di lain waktu. Untungnya, ditengah kesialan, selalu saja ada orang yang bersikap baik agar pikiran-pikran buruk tak lagi muncul.

Sebut saja namanya Mutia. Begitu selesai makan bareng, dia datang mendekat untuk menjelaskan kenapa teman-teman yang lain menolak untuk menyentuh makanannya. Alasan tersebut tak lain karena mereka belum terlalu dekat dan belum mengenal baik satu-satu sama lain. Tentang makanan dari orang yang berbeda agama, ada aturan-aturan tersendiri yang harus mereka ikuti dari aspek agama tersebut, yakni kekhawatiran tentang adanya bahan makanan yang tak halal.

Awalnya risih sih. Bagaimanapun, tentu akan jauh lebih baik jika satu sama lain saling memberi dan saling menerima. Ya kali dia ngambil makanan orang tapi orang boro-boro ngambil makanannya, ngeliat aja ogah! Sedih amat. Kelihatan maruk juga iya. 

Perlahan, kedekatan akhirnya berhasil juga merekatkan. Dan kebiasaan itu lambat laun pudar. Saling mengambil makanan di bulan-bulan berikutnya terjadi dari kedua belah pihak. Waktu memang ampuh untuk mengobati sekaligus menjawab pertanyaan ya.

Perbedaan ini kemudian semakin seru saat hari-hari menjelang puasa. Yang dulu di desa tak ada satupun teman yang beragama Islam, dan akhirnya dia hidup tanpa ada satupun temannya yang beragama Kristen. Kaget? Tentu! Tapi ya semakin dinikmati ternyata seru juga.

Lo bayangin, tiap makanan di kost bisa dimakan tanpa perlu ada saingan. Hahhaha. Dan temen-temannya juga baik-baik saja dengan kondisi tersebut. Perbedaan yang bisa diterima itu malah memberikan kenyamanan, bukan sesuatu yang malah perlu diributkan. Misalnya, saat salah satu temannya datang bulan, mereka punya teman untuk sekedar makan siang. Itu hal paling sederhana dari perbedaan ini.

Hal lain yang tak pernah dirasakannya adalah serunya ngabuburit dan berbuka puasa. Kalau menurut gue, ini masuk kategori lucu sih. Yang puasa siapa, yang makan duluan siapa.

Cukup cerita tentang adaptasi dari seorang Efa. Di tengah gempuran adaptasi yang begitu sulit itu, ada banyak jalan lain yang mempertemukan dirinya dengan kegiatan yang sesuai dengan hobi dan cita-cita yang selama ini diinginkan, yakni menulis. 

Hobi inilah yang mengantarkannya pada ragam aktivitas dan juga koneksi yang sebelumnya tak terpikirkan, mulai dari founder start up, influencers, kalangan artis, hingga menteri. Kebayang gak, sih? Orang desa bisa bertemu orang-orang keren, yang bahkan untuk bayanginnya aja gak berani.

Perubahan koneksi yang terjadi, mau gak mau berpengaruh juga ke gaya hidupnya. Kalau dia gak bisa mengontrol diri, pastinya akan kebawa arus. 

Kebawa arus nggak perlu ditanya ya tentu salah. Tau sendiri nyinyir sekarang bukan hanya dilakukan ibu-ibu kompleks tapi juga anak-anak muda yang tak bisa kontrol jarinya dalam memberikan opini tanpa peduli itu menyakiti atau tidak.

Merangkap sebagai blogger, tak jarang dirinya memiliki kesempatan untuk mengulas sebuah produk untuk diperkenalkan kepada konsumen. 

Sebenarnya hanya sebatas satu gambar foto, sedikit gaya dan sebuah produk -- yang bagi dirinya tak begitu berarti -- eh, malah disalahpahami oleh warga desa yang kebetulan melihatnya di media sosial. 

Keesokan harinya Mamanya dari desa berbicara lewat telepon dengan satu pertanyaan pembuka pembicaraan "Katanya kau beli-beli barang yang nggak perlu terus bergaya-gaya?" Yaelahhh, yang begitu doang sampe ke telinga orang tua? 

Padahal itu barang juga bukannya mahal-mahal amat. Hmmm... opini menyesatkan orang-orang ini memang bahaya banget kalau nggak segera diluruskan, ya! 'Kan kasihan orangtuanya yang tak tahu menahu tentang dunia media sosial. 

Boro-boro kenal apa itu Instagram, mau ketik SMS pakai HP jadul aja perlu waktu kurang lebih 20 menit untuk 1 SMS, tok! Kalau dengar berita-berita yang seperti itu ya pasti kepikiran dan ingin lihat langsung kan? Terus nggak bisa dong! Mau langsung tanya malam-malam tentu tak akan dilakukan, takut istirahat putrinya terganggu. 

Akhirnya pikiran tersebut mengganggu sepanjang malam berlalu dan membuatnya tak tertidur, takut opini orang-orang yang mempermalukan dirinya di sana adalah betul adanya.

Mau tak mau, dari pada marah-marah pada orang-orang yang menyampaikan berita-berita hoax pada orangtuanya, cerita di balik foto tersebut harus dirinci pada orangtuanya demi menghindari pemikiran-pemikiran yang mengganggu. 

Bukan apa-apa, kalau sampai mengganggu akhirnya jatuh sakit yang repot bukan yang nyinyir, 'kan?. Ini juga dapat dijadikan sebagai catatan bagi orang-orang yang suka untuk mengurusi hidup orang lain yang tidak dikenal, tidak mengganggu, dan tidak mengusik dirinya. 

Ketika orang lain sedang berkarya dan diganggu dengan kalimat-kalimat tak bermutu lewat media sosial. Ada efek yang terjadi, di mana muncul perasaan yang tak tenang. 

Dia yang nggak tau menahu dengan kecemburuan kita, harus berpikir keras tentang kesalahan apa yang telah diperbuatnya sampai harus dinilai begitu nista! Ah, dasar netizen. Jaga yuk jari masing-masing!

Tentang hobi yang diserusin ini, dia bisa menangkap kesempatan yang apik. Ketika banyak orang harus mengantri untuk memasukkan lamaran ke berbagai perusahaan supaya bisa bekerja, berbeda dengan dia.

Bermodal sebuah link berisi seluruh isi tulisannya, sebuah perusahaan start up yang ingin mengembangkan sayap menghubunginya. 

Tidak ada tes sebagaimana umumnya prosedur recruitment. Tidak ada wawancara, tidak ada pula bolak balik ke kantor tersebut untuk temu dan menjelaskan lebih lanjut tentang kompetensi diri yang dimilikinya. Link tersebut telah mewakili dirinya ke hadapan HRD perusahaan. 

Menjelaskan secara rinci kemampuan diri tanpa perlu cuap-cuap untuk menarik perhatian HRD demi diterima bekerja di sana.

Masih seperti sebuah pertanyaan, bagaimana bisa dia yang seorang perempuan dari kampung, perempuan desa itu bisa menjadi seseorang seberuntung ini? Yang menurutnya, ketika ditanyakan pada dirinya sendiri, pun dia tak bisa memberi jawaban. 

Sebenarnya, jika harus dibandingkan dengan beragam orang yang telah lebih dahulu menduduki posisi tinggi dalam sebuah jabatan, mungkin memang ini tidaklah seberapa. Namun setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing.

Dia selalu mengingat sebuah kalimat yang dibawanya saat beranjak dari desa menuju kota Lampung, yaitu bahwa orang-orang desa, apapun yang dilakukannya, akan selalu berakhir di desa pula. 

Tak ada kesempatan untuk setara dengan orang lain dan tak ada pula kesempatan untuk berkembang karena menurut warga setempat itu adalah sebuah kemustahilan. 

Semua itu bisa ditepisnya dengan beragam adaptasi dan perubahan yang harus diterima untuk bisa membaur dan menghilangkan mindset orang kampung tidak akan pernah berkesempatan untuk hidup lebih baik.

Oh ya, satu lagi. Sebelum menutup cerita ini, selain tentang transisi kehidupan dari desa ke kota yang memiliki banyak cerita, bahwa hidup dalam beberapa budaya yang berbeda itu menurut dia adalah seru. 

Seperti ketika kita lagi berada di Jakarta, baru aja bicara dengan pakai bahasa ala-ala Jakarta, yaitu "lo dan gue" dan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris. 

Kemudian, kita bertemu teman yang juga dari desa dan kita lagi rindu-rindunya berbahasa daerah dan dengan lincahnya lidah kita tiba-tiba lupa bahasa gaul Jakarta dan beralih ke bahasa Batak Toba. Itu seru banget!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun