Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Surat Terbuka Kepada Prof Eddy Hiariej: Menolak Vaksinasi Bukan Tindak Pidana

16 Januari 2021   14:56 Diperbarui: 20 Desember 2021   13:39 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat banyak lebih memilih untuk membayar denda ketimbang divaksin, padahal ada sanksi pidana denda. Hal ini sebenarnya menunjukkan apa? Sanksi pidana pada peraturan tersebut tidak mencerminkan "kemanfaatan" yang merupakan prasyarat sebuah perbuatan dapat dikriminalisasi.

Selain alasan-alasan diatas masih banyak lagi sebenarnya alasan mengapa menolak vaksin tidak dapat dipidanakan. Anjuran WHO, kemudian juga beberapa konvensi internasional seperti Unesco Declaration 2005, Ovideo Convention 1997 yang mengharuskan informed consent atau persetujuan dari yang bersangkutan apabila diberikan suatu treatment kesehatan selain hal tersebut juga telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights sebagai hak atas tubuh sendiri yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Selain itu dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 52 juga mengatakan setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan pasien sekaligus hal ini juga dicantumkan dalam pasal 7a dan penjelasan pasal 7a Kode Etik Kedokteran, bahwa seorang dokter harus menghargai hak pasien sesuai yang ditentukan dalam Deklarasi Lisabon tahun 1991 yaitu dalam poin c disebutkan secara tegas bahwa, "Hak pasien menerima atau menolak pengobatan". Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang dokter yang menyetujui penerapan sanksi pidana ini sebenarnya telah melanggar "kode etiknya sendiri". IDI pun beberapa kali menyurati Menkes Terawan dan mempertanyakan keamanan vaksin Sinovac ini.

Rekomendasi dari saya adalah pemerintah sebagai pihak yang akan mewajibkan pemberian vaksin tidak boleh abai terhadap hak-hak masyarakat akan keselamatan vaksin tersebut. Agar tercipta "keseimbangan" dan masyarakat tidak menjadi was-was akan wajib imunisasi vaksin covid ini pemerintah harus membuat Perpu Vaksin, yang mengatur juga tentang "pertanggungjawaban pidana" bagi perusahaan produsen vaksin dan pihak-pihak yang abai terhadap keselamatan dan keamanan vaksin. 

Bukan saja hanya membuat prosedur jika terjadi kejadian ikutan atau KIPI yang menurut saya sangat berbelit-belit dan birokratis sekali, karena belum ada sanksi pidana yang tegas apabila ada efek samping dari vaksin. Sanksi hanya sebatas sanksi perdata yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Mengapa perpu vaksin perlu dibuat? Supaya ada perlindungan hukum terhadap masyarakat. Jangan masyarakat yang justru "dipidana" demi melindungi "perusahaan vaksin" yang notabene adalah perusahaan asing. Mempidana koorporasi dalam negeri saja sulit apalagi koorporasi asing. Sehingga aturan setingkat UU mutlak perlu, karena tugas negara adalah melindungi rakyatnya bukan melindungi perusahaan asing yang juga sudah mendapat keuntungan dengan berbisnis di Indonesia. Kedaruratan tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membuat Perpu , karena untuk Pilkada saja pemerintah dapat segera membuat Perpu, mengapa untuk hal yang menyangkut nyawa tidak bisa. Apakah kekuasaan lebih penting dari nyawa manusia?

Selain itu daripada mempidana masyarakat sendiri dalam menerapkan suatu aturan, mengapa tidak dicoba alternatif pemberian insentif bagi warga yang sukarela divaksin seperti pada bidang perpajakan? Toh sama-sama keduanya masuk dalam lingkup hukum pidana administratif. Selain itu denda 100 juta sangatlah berlebihan pak Profesor, karena banyak orang dari golongan menengah kebawah jangankan memiliki uang 100 juta, melihat uang sebanyak itupun belum pernah. Mungkin buat profesor uang 100 juta itu kecil tapi tidak buat masyarakat menengah ke bawah.

Saya juga ingin mengutip suatu adagium hukum yaitu Le Salut Du People Est La Supreme Loi yang artinya Hukum tertinggi adalah Perlindungan Masyarakat. Adagium ini seharusnya bisa menjadi introspeksi diri bagi pemerintah bahwa upaya pemberian vaksin ini seoptimal mungkin harus melindungi masyarakat. Bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat secara luas, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat terhadap tubuhnya sendiri termasuk hak untuk mendapat jaminan dari negara akan keamanan dari vaksin tersebut. 

Terima Kasih Pak Profesor atas perhatiannya, semoga masukan seorang ibu biasa yang khawatir tentang keselamatan anaknya yang memiliki riwayat KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dapat didengarkan, karena apakah adil jika saya harus membayar denda 100 juta dan menjual rumah saya demi keslamatan anak saya karena terus terang saya tak mau anak saya divaksin. Karena bagi seorang ibu, keselamatan anak adalah hal yang utama, jika dipidana kurunganpun maka saya mau, demi keselamatan anak saya satu-satunya.

Salam Damai dan Terima Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun