Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Surat Terbuka Kepada Prof Eddy Hiariej: Menolak Vaksinasi Bukan Tindak Pidana

16 Januari 2021   14:56 Diperbarui: 20 Desember 2021   13:39 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Lex Scripta, Lex Certa,  Lex Stricta

Selamat Pagi Profesor. Pertama tama saya ingin memperkenalkan diri, Nama saya Grace Bintang Hidayanti Sihotang. Saya lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan S2 Magister Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Spesialisasi saya Hukum Pidana dan saya memang mengajar Hukum Pidana.

Saya adalah hanya seorang ibu biasa yang khawatir tentang ucapan Profesor yang menurut saya sedikit berlebihan saat menyebutkan akan memberlakukan pidana kurungan dan denda 100 juta bagi penolak vaksin. Perlu saya jelaskan bahwa saya "bukan anti vaksin" walau anak semata wayang saya adalah korban KIPI ( Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) setelah diberi treatment 3 kali vaksin DPT dan satu kali vaksin HIB, dan setiap kali diberikan vaksin anak saya selalu demam dan saat pemberian vaksin DPT dan HIB anak saya selalu mengalami kejadian ikutan berupa kejang- kejang. Bahkan saat usia 6 tahun dia mengalami koma selama satu minggu akibat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi tersebut. Anak saya sekarang berusia 19 tahun, terakhir saat vaksin ulangan BCG atau Difteri, dari sekolah diapun demam dan panas tinggi hingga mencapai 42 derajat selsius. Untungnya tidak sampai kejang, tapi itupun sudah membuat saya trauma, karena sudah besarpun tetap demam tinggi jika divaksin.

Setelah saya melihat daftar " mereka yang tidak bisa diberi vaksin covid sinovac" yang tertuang dalam SK Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes No 02.02/2021 ", anak saya sebagai orang yang memiliki riwayat KIPI tidak termasuk di dalam pengecualian vaksin tersebut. Apakah anak saya dan bahkan saya sendiri yang menolak vaksin karena alasan "keselamatan dan nyawa" juga harus mendapatkan sanksi pidana seperti yang bapak maksud? 

Apakah memang warga negara seperti saya dan jutaan penduduk Indonesia yang waswas akan keamanan vaksin layak diberi sanksi pidana seperti yang bapak katakan? Menurut saya vaksinasi adalah pilihan bukan kewajiban, dan penolakan terhadap vaksin bukan tindak pidana bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Penolakan terhadap hal yang termasuk hak atas tubuh sendiri adalah Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan pemakaian masker yang dapat diwajibkan karena itu tidak menimbulkan efek samping terhadap tubuh dan kesehatan. Selain itu kondisi tubuh setiap orang berbeda begitu juga respon terhadap vaksin.

Tanpa bermaksud mengajari Profesor, karena saya yakin profesor mungkin sudah tahu tentang hal ini tapi lupa atau apa entahlah. Jika merujuk pada Asas Legalitas bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika ada Undang-undang yang mengaturnya (Nullum Delictum Noela Poena Praevia Lege Poenali), maka perbuatan atau tindakan menolak vaksin belum ada aturan pidana berupa Undang-Undang yang "Secara Nasional" mempidana sekaligus enforceable dalam mempidanakan pihak-pihak yang menolak divaksinasi COVID-19. Yang ada hanya Peraturan Daerah DKI Jakarta No 2/ 2020 dan itu keberlakuannya hanya dalam lingkup DKI Jakarta saja.

Saya sebetulnya agak sedikit menyayangkan perkataan profesor di dalam memakai dasar hukum pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Di dalam pasal 93 UU Karantina Kesehatan itu, tidak menyebutkan dengan jelas tentang "tindak pidana dan sanksi pidana yang khusus bagi penolak vaksin", disitu hanya dijelaskan tentang sanksi pidana bagi pelanggar karantina kesehatan. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Perda DKI yang memang sudah mencerminkan asas legalitas dan memuat norma hukum serta benar-benar menunjuk pada perbuatan yang dimaksud. Hal ini merujuk pada asas kekhususan dalam Hukum Pidana yaitu lex scripta, lex certa dan lex stricta, dan tidak bisa dianalogikan.

Menurut konsep asas legalitas yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) dikatakan bahwa diantaranya:

  1. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia);
  2. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta);
  3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa/lex certa);
  4. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta)

Selain itu dalam pasal 10 UU Karantina Kesehatan juga mensyaratkan bahwa untuk pelaksanaan pasal 93 itu pemerintah "harus terlebih dahulu" menetapkan "Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat", dan yang menjadi catatan adalah, hal ini belum dilakukan oleh pemerintah.

Jika merujuk pada unsur tindak pidana dan prasyarat sebuah tindakan untuk dikriminalisasi, jelas-jelas perbuatan menolak vaksin tidak dapat digolongkan sebagai tindak pidana karena tindak memenuhi unsur mens rea atau adanya itikad jahat dan actus reus atau perbuatan jahat. Orang yang menolak vaksin hanyalah orang-orang yang was-was dan khawatir tentang keselamatan dan keamanan dari vaksin. Unsur itikad jahat tidak terpenuhi demikian pula unsur actus reus atau perbuatan jahat, karena penerima vaksin adalah "pihak yang pasif " atau sebagai penerima, sedangkan kata perbuatan atau tindakan jahat bermakna "perbuatan atau tindakan aktif". 

Sehingga berdasarkan kesesuaian terhadap unsur-unsur tindak pidana, tindakan menolak vaksin, tidak dapat dikatagorikan tindak pidana, Hal ini juga didukung oleh organisasi kesehatan dunia WHO yang menganjurkan negara agar tidak menerapkan sanksi pidana kepada pihak yang menolak vaksin, karena mendapatkan treatment kesehatan adalah pilihan bukan kewajiban, dan hak atas tubuh sendiri diatur dalam Universal Declaration of Human Rights.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun