Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menakar Relevansi Keberadaan Pasal Makar dan Penghinaan Presiden

16 Mei 2019   10:55 Diperbarui: 25 Mei 2019   21:39 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu saat kuliah saya sempat mengkritisi kata Universal Declaration of Human Rights karena seperti menyama ratakan konsep ham diseluruh penjuru bumi dengan kata Universal nya itu dan mengarahkan kiblat Hak Asasi Manusia di belahan dunia manapun seperti model yang ada di dunia barat. Padahal HAM itu menurut saya berlaku Universal tapi Konsepnya tidak Universal, karena keadaan tiap tiap negara yang berbeda beda. Hal ini yang amat saya tentang. 

Kedua pasal ini sangat perlu di Indonesia bahkan akhir akhir ini menjadi urgent sifatnya karena kalau kita tidak punya dua pasal ini untuk menjaga Indonesia,ada kemungkinan 50 tahun ke depan negara Indonesia tinggal jadi catatan sejarah. Hal ini dikarenakan  sangat sulitnya menjaga keutuhan suatu negara kepulauan. Sebagai contoh saja Timor Timur sudah lepas dari ibu pertiwi, apakah mau wilayah yang lain juga lepas? Satu lagi, kita bisa mengambil contoh Negara Malaysia yang juga menerapkan Undang-Undang Hasutan yang hampir mirip dengan pasal makar untuk menjaga negara mereka, padahal pulau mereka tidak sebanyak Indonesia, kenapa Indonesia justru mempertentangkan keberadaan pasal makar dan menghapus pasal penghinaan presiden. Lucu kan?

3. Negara ini bersatu karena usaha dari para pendiri kita. Sebetulnya saya kagum pada pendiri bangsa kita, sebab sangat mustahil sebenarnya menyatukan negara kepulauan yang multikultural serta multireligi seperti Indonesia. Apa kita rela negara ini terpecah pecah menjadi kepingan kepingan negara kecil?sehingga usaha dari para pendiri bangsa tersebut menjadi tidak ada artinya.

4. Pasal makar adalah Delik Formil bukan Delik Materil, ini mengandung implikasi bahwa walaupun belum kejadian atau makar belum terjadu tetapi pelaku makar sudah bisa dilaporkan. Kemarin agak sedikit kesal dengan pendapat beberapa LSM yang seolah- olah memutar balikkan fakta dan melakukan pembodohan terhadap masyarakat. Pasal makar ini dibuat untuk memenuhi salah satu Fungsi Hukum yaitu sebagai alat pencegahan, seperti halnya OTT operasi tangkap tangan, walaupun misalnya transaksi penyuapan belum terjadi, tetapi pihak yang akan melakukan sudah bisa dilaporkan dan diperiksa. Jadi mohon para aktifis LSM itu bijaksanalah dalam memberi pendapat karena Indonesia konsep hukum dan HAM nya beda dengan negara lain

Saya sedikit merasa lega sebenarnya ada usaha memasukan pasal penghinaan presiden tersebut ke dalam RUU KUHP 2018, selain itu juga karena pasal penghinaaan presiden ancaman pidananya lebih ringan dari makar, tapi lagi lagi sayangnya ditentang oleh LSM dan berbagai kalangan dengan mengatasnamakan HAM dan Demokrasi. Tidak sadarkah mereka kita bangsa yang unik? Tidak malukah mereka mendompleng konsep negara lain karena dana LSM yang mereka terima berasal dari negara asing yang tentu saja ingin bermain dan punya kepentingan terselubung di Indonesia. 

Berhentilah Indonesia menjadi bangsa pengekor. Tidak usah jadi negara jadi jadian ala Barat ataupun negara jadi jadian ala Arab, kita harus menjadi diri sendiri. Kita harus bangga karena punya sistem hukum, demokrasi dan hak asasi manusia sendiri ala negara ini. Tegakkan Demokrasi Pancasila, Kembangkan Negara Hukum The Rule of Pancasila, ga usah ikut ikutan The Rule of Law serta Gali Konsep Hak Asasi Manusia ala Indonesia . Satu lagi  saya mendukung seratus persen para pakar hukum yang memasukkan Pasal Makar dan Pasal Penghinaan Presiden masuk RUU KUHP,karena alasan yang sederhana, masakkan pasal penghinaan terhadap kepala negara asing dan duta besar diatur dalam pasal 142 dan 143 KUHP tidak diminta judicial reviewnya sedangkan pasal penghinaan presiden dihapuskan?

Kok lebih mementingkan kepala negara bangsa lain dari bangsa sendiri? 

Salam damai dan Salam Waras....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun