Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menakar Relevansi Keberadaan Pasal Makar dan Penghinaan Presiden

16 Mei 2019   10:55 Diperbarui: 25 Mei 2019   21:39 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini, terutama semenjak gonjang-ganjing penolakan hasil real count Pilpres versi KPU dari kubu paslon 02, yang mengakibatkan ajakan  people power, gerakan kedaulatan rakyat atau apapun itu namanya, dua pasal ini menjadi bahan perbincangan hangat dimanapun, terutama Pasal tentang Makar.

Berbagai kalanganpun ramai adu argumen mengenai perlu tidaknya pasal ini dan kapan pasal ini perlu digunakan. Banyak silang pendapat antara kalangan LSM, polri dan pemerintah tentang penggunaan pasal ini. Pihak LSM menuding pemerintah terlalu gegabah menggunakan pasal ini dan mengarah pada rezim otoritarian yang tidak demokratis, sedangkan pihak Polri dan pemerintah mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai upaya meredam ancaman disintegrasi dan menciptakan keadaan aman.

Pasal Makar (Pasal 104, 106 dan 107 KUHP) masih diberlakukan hingga saat ini walaupun pasal ini pernah diajukan Judicial Reviewnya ke Mahkamah Konstitusi oleh sebuah LSM pada tahun 2005. Pasal Penghinaan Presiden yaitu pasal 134, pasal 136 bis dan pasal 137 KUHP sudah tidak berlaku lagi karena diajukan Judicial Reviewnya ke MK oleh LSM yang sama melalui putusan No 013-022/PUU -IV/2006.

Walaupun mungkin pendapat saya ini pasti akan ditentang oleh LSM yang katanya Pro Demokrasi dan HAM, menurut saya kedua pasal ini masih sangat relevan diterapkan di Indonesia walau kedua pasal itu merupakan warisan Hindia Belanda dan dibuat dalam rangka melindungi Ratu/ Raja Belanda.

Pasal ini masih relevan diterapkan di Indonesia karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Indonesia adalah negara yang sangat rentan disintegrasi. Di negara yang indah dan sangat saya sayangi ini beragam Ras bersatu, beragam agama bersatu, beragam golongan bersatu sehingga berbagai kepentinganpun saling beradu dan bersentuhan di Indonesia yang menurut saya rentan ditunggangi oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab. Pasal Makar dan Pasal Penghinaan Presiden diperlukan untuk menjaga legitimasi negara. Bayangkan saja, bagaimana nanti kalau orang dengan seenaknya sendiri menganjurkan makar dan menghina pemimpin negara ini? Pastinya bukan hanya presidennya yang terganggu, tetapi negara dan pasti stabilitas perekonomian. Pasal penghinaaan untuk warga negara biasa saja ada, akan sangat aneh jika pasal penghinaan untuk Presiden yang notabene pemimpin kita tidak ada. Di negara lain yang notabene juga negara demokrasi seperti Polandia dan Turki serta bbrp negara lain di dunia juga diterapkan pasal penghinaan thd presiden atau pemimpinnya,

2. Indonesia adalah Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan lokasi terpisah-pisah dan rentan perpecahan. Almarhum Dosen saya pengajar Hukum Pertahanan Keamanan dan Bela Negara di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta bapak Alm Dr. M. Ali Zaidan, SH, MH, mengatakan bahwa model negara kepulauan seperti Indonesia memang harus punya aturan-aturan hukum yang berbeda dengan negara yang bukan berbentuk kepulauan yang mengakomodasi keadaan spesial tersebut. Memang ada doktrin yang menjaga tetapi perlu perangkat hukum yang mumpuni. 

Di Indonesia kita mengenal doktrin Hankamrata yaitu Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, dimana rakyat ikut andil dalam membela negara. Ajakan makar, people power, revolusi atau penghinaan terhadap presiden sangat bertentangan dengan doktrin hankamrata karena mengarah ke berpotensi disintegrasi. Itulah yang dijaga oleh Polri dan Pemerintah. 

Jangan pakai alasan seperti yang KZ katakan, kita tidak punya pasukan tidak mungkin makar. Itu alasan yang mengada ngada. Massa yang tidak terkendalipun malah eksesnya bisa lebih mengerikan dari tentara, dan itu yang harus dijaga. Jangan nanti dibilang karena ada pasal pasal ini menumbuhkan militerisme dan anti ham dan demokrasi ya, tentu saja tidak. Pasal ini tetap perlu menurut saya namun proses peradilannya saja yang diatur semanusiawi mungkin dan tidak melanggar hak hak asasi manusia.

Kedua pasal ini saya pikir justru sangat baik meredam berbagai pendapat pendapat kasar, ujaran kebencian dan hoax, karena akan menjadi rambu rambu bagi masyarakat Indonesia saat ini gemar melontarkan statement statement yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai macam etnis, agama dan golongan, tidak bisa plek plek mengakomodasi konsep ham dan demokrasi dari negara lain, terutama demokrasi  dan HAM ala barat maupun demokrasi dan HAM dengan konsep islam. Kita punya demokrasi Pancasila dan HAM ala Indonesia yang harus kita gali dan kembangkan sendiri. Hak Asasi Manusia menurut saya, di semua belahan bumi punya pokok pikiran yang sama yaitu penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan tapi tidak universal untuk semua bangsa dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun