Mohon tunggu...
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw)
Grace Sihotang SH MH (HSPLaw) Mohon Tunggu... Penulis - Advokat Dan Pengajar/ Tutor pada prodi Hukum Universitas Terbuka

Mengajar mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi. Lawyer/ Advokat spesialisasi Hukum Asuransi Dan Tindak Pidana Asuransi. Menulis untuk Keadilan, Bersuara untuk Menentang Ketidakadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menjawab Dahnil Anzar Simanjuntak yang Membela HS

14 Mei 2019   15:26 Diperbarui: 16 Mei 2019   11:07 3170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koordinator Juru Bicara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak.(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

Ada sedikit kegelisahan di hati saya ketika membaca berbagai pemberitaan di media tentang pernyataan Bapak Dahnil Anzar Simanjuntak yang mengatakan bahwa penanganan kasus HS dibedakan dengan kasus anak di Jakarta Barat yang dulu mengancam presiden dan mengatakan Hukum di Indonesia Tebang Pilih.

Terkadang saya sebagai orang yang berlatar pendidikan hukum sering senyum senyum sendiri membaca pernyataan di atas yang sering kali dipakai elit politik untuk memprotes pemerintah.

Saya mendapat pencerahan ttg Hukum Memang Harus tebang pilih itu dari almarhum dosen saya Almarhum Prof Wahyono, SH, MS. Hukum memang Harus Tebang Pilih. Tidak mungkin kan pohon yang pendek ditebang sama rata dengan pohon yang tinggi?

Dia (Dosen Saya) mengatakan mana mungkin penerapan hukum untuk anak disamakan dengan orang dewasa, orang gila dengan orang waras, orang yang mencuri karena kelaparan dengan koruptor? Itulah yang dikatakan dalam hukum itu ada banyak unsur, tidak hanya pelaksanaan pasal undang-undang yang diterapkan sama untuk setiap orang (kepastian hukum) tetapi juga ada unsur kemanusiaan, keseimbangan, keadilan, dan keselarasan. Kuliah dari dosen saya tersebutlah yang membuat saya sadar bahwa menyelesaikan masalah hukum tidak semudah membalik telapak tangan.

Contoh yang mudah dalam kasus HS yang berumur 25 tahun dengan RJT yang berumur 16 tahun yang sama-sama menghina presiden, penerapannya hukum dan pidananya mana bisa sama.

RJT itu statusnya anak, prosesnya harus berdasarkan UU Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2012. Bapak Dahnil Anzar kemarin mengatakan kok anaknya tidak ditahan? Hal ini sudah diatur dalam pasal 3 poin G Undang-Undang tersebut yaitu, " bahwa anak yang dipidana tidak ditangkap, ditahan dan dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat".

Perlu juga bapak ketahui bahwa Sidang Peradilan Anak dilakukan tertutup dan tidak boleh dipublikasikan terutama identitas si anak. Mungkin tidak banyak yang tahu perkembangan kasus ini karena tertutupnya sidang dan tidak dipublikasikannya, karena hal tersebut sesuai Undang Undang.

Sepanjang pengetahuan saya kasus RJ sudah berjalan dan anak ini sudah dititipkan di Panti Sosial di daerah Cipayung, Jakarta Timur.

Untuk kasus anak terutama yang ancaman pidananya di bawah 7 tahun juga bisa dilakukan proses diversi/penyelesaian di luar pengadilan. Jadi jangan nanti bapak Dahnil Anzar menganggap penanganan kasusnya tidak adil lagi, ya, kalau misal anaknya tidak dipenjara dan dikembalikan ke orangtua. Sebab sudah semestinya diatur dalam UU dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Anak. Penerapan hukum yang tidak sama adalah karena dalam dua kasus ini subjek hukumnya berbeda, satu anak dan satu orang dewasa.

Tentang kasus NS yang mengancam FZ, FH dkk, yang juga bapak protes, menurut hemat saya kasus ini kemungkinan tidak ditindaklanjuti karena bukti permulaan yang tidak cukup.

Sebagai acuan saya pakai pasal 5 ayat 2 UU ITE dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, sehingga bisa disimpulkan bahwa dokumen elektronik mungkin hanya bisa diajukan sebagai alat bukti pelengkap yang mendampingi alat bukti lain, misal, video, padahal dalam kasus NS bukti hanya berupa tweet di medsos.

Saya juga mengerti dan mengamini alasan pembuat UU mengatur hal ini karena tingginya kemungkinan dokumen elektronik dipalsukan atau diretas dan kemungkinan akan menumpuknya kasus di kepolisian kalau semua tweet atau chat di medsos ditindaklanjuti.

Berbeda dengan kebanyakan kasus yang ada bukti videonya seperti kasus HS yang kemarin mengancam Jokowi, kasus Ratna Sarumpaet Kasus Ahmad Dani serta Kasus Anak RJ yang mengancam Jokowi, bukti video lebih mudah diajukan sebagai bukti permulaan menetapkan tersangka apalagi bentuk orisinilnya, sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 14 kuhap jo pasal 5 UU ITE. Kemungkinan kurangnya bukti inilah yang membuat kesulitan aparat kepolisian memprosesnya.

Satu hal lagi agar bapak Dahnil Anzar lebih mengerti betapa berat tugas polisi. Sejak maraknya media sosial, kasus hate speech dan penghinaan sangat meningkat tajam dan merupakan kasus yang menempati urutan pertama terbanyak untuk diproses sejak tahun 2017.

Jika kita lihat gelagat ini, kepolisian juga wajib memilah milah kasus untuk ditangani, dengan alasan, apabila puluhan ribu kasus tersebut ditindak lanjuti berapa banyak uang negara yang habis? Berapa banyak penjara yang diperlukan dan ditambah untuk memenjarakan pelaku kasus hate speech yang sangat meningkat tajam itu?

Sekarang saya tanyakan lagi apa masyarakat Indonesia rela pajak dinaikkan untuk biaya pemenjaraan terpidana hate speech yang begitu banyak? selain pertimbangan beratnya kerja kepolisian padahal mereka juga harus menangani kasus lain

Bapak Dahnil Anzar yang terhormat, Anda tidak perlu heran jika kasus penghinaan Jokowi lebih didahulukan untuk ditangani ketimbang kasus FZ, FH dan FI, karena dalam pasal 104 sampai pasal 129 kuhp (tentang Makar) diatur tentang kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden (saya juga yakin klo ada pasal tentang kejahatan terhadap Wakil Ketua MPR pasti juga akan cepat ditangani polisi). Selain itu masalah asas utilitas, kasus mana yang perlu ditangani lebih dulu juga pasti jadi pertimbangan polisi.

Walau ide bahwa presiden dan presiden sebagai simbol negara merupakan pemikiran yang feodal, tapi sudah selayaknya kita sebagai warga negara dari bangsa yang beradab dan bermoral menghormati presiden dan wakil presiden kita.

Selain itu menurut saya FZ, FH, dan FI pun sering sekali mengucapkan ujaran yang tidak mengenakkan di sosmed tapi saya lihat juga belum ada yang diproses maksimal, selain belum banyak yang mengadukannya.

Jadi, bapak Dahnil Anzar bijaksanalah. Di era medsos ini kalau polisi tidak bisa memilah milah kasus maka semua masyarakat Indonesia yang menurut saya telah terjangkiti virus nyinyir di medsos akan masuk penjara semua dan tidak ada lagi orang yang tinggal di luar penjara, karena berbicara kasar di medsos sudah menjadi tren saat ini. Dan itu yang membuat saya prihatin.

Mohon kepada bapak, sebagai individu yang terpelajar juga lebih berhati-hati dalam lisan dan berujar, sehingga tidak memancing kekeruhan di masyarakat Indonesia yang sudah sangat menipis keramahannya dewasa ini.

Akhir kata, hukum bukan hanya soal kepastian keadilan tetapi juga soal keseimbangan, kemanusiaan, dan keselarasan. Akanlah tidak adil jika FZ dan FH yang saya lihat terkadang seenaknya berbicara dan sering sekali menyinggung perasaan orang lain mengadukan orang yang mungkin baru sekali menghujatnya. Di mana keadilannya? Mohon dipertimbangkan karena Hukum itu bukan ilmu pasti tapi ilmu tentang kemanusiaan.

Salam Damai dan Terima Kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun