Mohon tunggu...
Grace Maretta
Grace Maretta Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis Dewasa

Psikolog di Mudah Nyaman - Healing and Development Service @mudahnyaman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Menyemangati Orang yang Berduka, Mengapa?

20 Juli 2021   21:32 Diperbarui: 20 Juli 2021   21:41 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia mendorong pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat di daerah Jawa dan Bali. Bukan hanya kasus positif, angka kematian di Indonesia akibat Covid-19 pun kian meningkat. 

Berdasarkan data sebaran yang diunggah di website Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (2021), jumlah kematian akibat kasus Covid-19 di Indonesia pada tanggal 19 Juli 2021 berjumlah 1338, angka kematian harian tertinggi selama pandemi. 

Tentu ada banyak masyarakat yang berduka akibat kondisi ini. Dalam waktu sepekan, mungkin kita telah mendengar kabar beruntun dari beberapa kerabat yang meninggal akibat Covid-19. Bisa jadi kita sendiri yang sedang mengalami kedukaan.

Saat mendengar kabar duka, kita terbiasa menyampaikan ungkapan bela sungkawa dengan cara yang beragam. "Turut berdukacita ya" merupakan kalimat yang cukup wajar dan sering kali didengar. 

Sedangkan beberapa orang terdengar begitu ingin menghibur yang kedukaan dengan berkata "Jangan sedih ya" atau "Kamu harus kuat dan tabah". Tanpa ada maksud buruk, kita berusaha setulus hati menguatkan mereka yang berduka. Namun, apakah kalimat tersebut dapat betul-betul menghibur yang berduka? Apakah wajar saat mengalami kehilangan justru kita dilarang sedih dan disuruh merasa kuat?

Berduka merupakan reaksi emosi yang natural dan wajar saat orang terdekat meninggal dunia (Yap, dkk, 2021). Kondisi berduka dapat disertai dengan emosi lainnya seperti kesedihan, kehilangan, putus asa, tidak berdaya, dan masih merasa tak percaya bahwa yang tercinta sudah tiada. 

Ditambah dengan kondisi pandemi yang mengharuskan penderita Covid-19 melakukan isolasi dan menjalani pengobatan. Cemas dan tak berdaya jelas sudah terasa sebelum momen berduka. 

Kabar duka hanya bisa didengar dari tenaga kesehatan yang merawatnya, tak bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya, dan tak dapat melakukan persemayaman yang selayaknya. 

Bisa jadi hal ini terasa tak adil. Emosi yang dirasakan begitu kompleks sehingga seseorang atau keluarga yang sedang berduka akibat Covid-19 dapat merasa sangat terbeban.

Dalam keadaan terbeban seperti itu, adilkah kita jika berkata "Yang tabah ya" atau "Sudah ya jangan sedih, kamu harus kuat" kepada mereka yang berduka? Kalimat ini bisa saja sudah menjadi kebiasaan untuk diucapkan saat mendengar seseorang mengalami kedukaan. 

Kita bisa saja benar-benar bermaksud ingin menunjukkan ketulusan bersimpati. Atau kita mungkin saja merasa khawatir jika kerabat yang berduka akan berlarut-larut dalam keputusasaan dan tidak bersemangat lagi menjalani hidup. Akhirnya kita bereaksi dengan cara memberikan kata-kata positif dan nasihat agar mereka bisa segera bangkit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun