Mohon tunggu...
GP Kotabandung
GP Kotabandung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung Ngajorowok: Ancaman Budaya di Lahan Eks Palaguna!

21 Februari 2017   01:56 Diperbarui: 21 Februari 2017   02:14 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Isu palaguna di beberapa bulan terakhir dalam prosesi upaya untuk melegalkan lahan eks palaguna agar dijadikan sebagai bangunan komersil dengan fasilitas hotel, rumah sakit, Mall dan apartemen terus saja bergulir. Hal ini sejalan dengan upaya pengurusan adminstrasi tentang dikeluarkannya ijin IMB yang tentunya menjadi pertimbangan utama ada ditangan Tim Cagar Budaya sebagai pihak yang dijadikan kunci pertimbangan kawasan alun-alun Kota Bandung. Pertimbangannya tentu saja tidak terlepas dari dasar filosofis dibangunnya Tata Ruang Alun-Alun yang merupakan jantung atas tumbuh kembangnya kota Bandung yang kini telah meluas. 

Walaupun seiring masifnya berbagai pembangunan infrastruktur di era kekuasaan Ridwan Kamil sejak 2013 silam, tentu saja dasar filosofis dibangunnya Bandung dinilai tidak boleh diabaikan. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Mas Aji yang mewakili Bandung Haritage/Paguyuban Pelestarian Budaya dalam Kajian Khusus Palaguna GEMA Pembebasan kota Bandung, Rabu 14 Februari 2016 yakni pembangunan alun-alun tiada lain demi menjadikan Icon dan memunculkan pusat Bandung yang harus terus dilestarikan.

Dalam catatan terakhir GEMA Pembebasan Kota Bandung sejak mengikuti bergulirnya isu eks palaguna ini, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi perhatian menyoal realitas bangunan alun-alun di Kota Bandung yang mesti dilihat dari aspek corak budaya. Selaras dengan itu pun, Tinjauan Sejarah sebagaimana disampaikan oleh Bandung Haritage, pembangunan alun-alun tidak terlepas dari dua hal yakni pertama (1) semangat ke-sunda-annya yang mesti dipertahankan untuk menyimpan “ruh” bandung

(2) realitas fisik bangunan era kolonial yang ini menyimpan nilai sejarah pula dan harus dipadukan dengan semangat tersebut. Atas dasar dua hal tersebut, Bandung tidak bisa dilepaskan dengan sejarah pembangunan Jalan Pos yang membentang 100 KM dari Anyer sampai panarukan. Pembangunan yang dilakukan oleh Gubernnur Jenderal H.W Daendels pada tahun 1808 yang diperuntukan untuk komunikasi antar daerah.

Sejak era Daendels, pusat-pusat pemerintahan kota mesti dipindah ke sepanjang jalan raya pos. termasuk pusat pemerintahan kabupaten bandung oleh Bupati Wiranatakusumah II dipindahkan dari Krapyak/Dayeuhkolot ke lokasi Alun-alun Bandung ditahun 1810. Pada titik ini lah permulaan Kota Bandung berkembang, itulah mengapa dari sisi permulaan Bandung diadakan, dikatakan bahwa Alun-alun sebagai Jantung bagi Kota itu sendiri yang mesti ditonjolkan dan mesti tampak dominasi ditataruang kota. Tak hanya dilihat dari sisi historis, Pertimbangan Alam pun menjadi acuan bagaimana Alun-alun ini mesti diperhatikan. 

Penetapan letak pusat kota dan alun-alun telah mengambil sungai Cikapundung dan Gunung Tangkuban Perahu sebagai acuannya. Terlebih dari Pendopo terdapat sumbu secara visual ke arah utara, Tangkuban Perahu. Tampaknya, dua hal ini perlu menjadi alat peninjau tatkala Bandung mengalami ‘trubulensi’ tataruang. Sehingga, keduanya itu setidaknya menjadi indikator dalam menahan laju pembangunan dan sebagai mekanisme yang mengabsahkan pembangunan itu sendiri.

Elemen alam yang telah dijadikan dasar pertimbangan mendudukan Bandung pada posisinya telah dipertegas dengan konsep tata ruang tradisional Jawa untuk diterapkan pada kawasan alun-Alun Bandung. Konsep tersebut adalah “Catur Gatra” yang komponennya adalah: 1. Alun-alun, yang merupakan lapangan terbuka, 2. Pendopo kabupaten, 3. Masjid Agung sebagai tempat peribadatan utama kota, 4. Pasar, sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perjumpaan kultural penduduk. Dari konsep tersebut, dibangun berdasarkan filosofis bahwa Alun-alun adalah halaman depan Istana yang adanya adalah keraton kerajaan.

 Artinya, Alun-alun hadir sebagai bagian dari fungsi pemerintahan dengan adanya pendopo kabupaten. Walaupun ditahun 1905 poros politik Bandung berpindah dengan adanya pembangunan yang meluas kearea selatan yakni melewati rel kereta api hingga taman tegalega. Dan sejal 1867 pun patut disadari bahwa upaya penurunan “Wibawa Politik” dari keberadaan Pendopo Kabupaten sudah mulai digerus oleh pemerintah kolonial belanda.

Penggerusan sejak awalnya itu yakni dua poin yang mesti dimasukan kedalam indikator “pengadaan” kota bandung terus terjadi hingga dapat dilihat Bandung ditahun 1921. Ditahun ini, pembangunan-pembangunan telah semarak mengelilingi kawasan alun-alun yang telah diintimidasi oleh kawasan poros politik baru di Bandung. Terbukti dengan keterpisahan hubungan Alun-alun dengan sungai Cikapundung sebagaimana pada awalnya. Hal ini terus merambah hingga tahun 1930, kenampakan fisiknya dapat dilihat dengan pengembangan kota kearah utara. Pembangunan tersebut memoroskan tiga pusat yang menjadi fokus konsentrasi fungsi kota yakni pusat pemerintahan disekitar Gedung Sate, Pusat Pendidikan tinggi disekitar ITB dan Pusat Fasilitas kesehatan disekitar RS. 

Hasan Sadikin dan Bio Farma. Dengan melihat perjalanan dari pengembangan kenampakan fisik Kota Bandung, semakin menunjukan perubahan posisi dan fungsi atas alun-alun kota Bandung, apalagi ketika perluasan bangunan masjid dinilai merubah fungsi Alun-Alun tiu sendiri diawal tahun 2000-an. Perubahan posisi dapat dilihat dari pemusatan poros politik pemerintahan sedangkan perubahan fungsi tiada lain pengaruh dari posisi itu sendiri yang menempatkan alun-alun tidak lagi sebagaimana awalnya dihadirkan sebagai titik tolak perkembangan Bandung.

Menyoroti hal itu, terlihat pergeseran pusat politik bandung menemukan dasar filosofisnya yakni sebagai pemusatan ‘elemen’ tatar sunda yang bersifat kenampakan fisik sehingga menopang daya ingat warga bandung menyoal sarana fisik yang dikenalnya secara turun-temurun. Terbukti dengan konsep tata ruang Catur Gatra di kawasan alun-alun untuk diterapkan untuk dileburkan dengan pemusatan konsentrasi kegiatan masyarakat. Disinilah kiranya sarana fisik yang mengingatkan peninggalan-peninggalan leluhur mendapatkan tempat yang dominan terutama dalam menopang “daya ingat”warga Bandung dikesehariannya. Dengan perubahan sarana fisik ini yakni tata ruang yang ada, dinilai turut menurunkan intensitas daya ingat bagi warga Bandung terhadap peninggalan-peninggalan itu.

Namun, tampaknya Ridwan Kamil selaku pemegang otoritas Kota Bandung melihat hal ini, beberapa kebijakannya terlihat berupaya untuk menaikan tensi “daya ingat” itu bagi Warga Bandung seperti rencana pembangunan kawasan budaya di Cibiru, Pembangunan taman sejarah, Nama-Nama tokoh-tokoh beserta kutipan-kutipannya yang tersebar disepanjang trotoar dago, dan sebagainya. Kiranya, penampakan fisik untuk meningkatkan “daya ingat” ini dibentuk untuk tidak terpusat lagi dalam Catur Gatra, namun tersebar seiring mengembangnya Kota Bandung secara luas teritorial dari sisi histori. Jika demikian realitasnya, tentu ada upaya yang menyeimbang antara “daya ingat” dengan perubahan tata ruang ditinjau dari keterkaitan dengan filosofis kota yang mesti memayungi pembangunan Kota sebagai Ruang Hidup Warga Bandung.

Namun, realitas Warga Bandung justru berbanding terbalik dengan upaya menyeimbang tadi antara menstabilkan daya ingat (pembangunan elemen-elemen sejarah dan perubahan tata ruang kota) dengan realitas warga Bandung yang semakin bersaing ketat dan mereduksi kebiasaan silih asah, silih asihdan silih asuh yang disimbolkan terhadap corak Warga Bandung itu. Disinilah kiranya terdapat pertanyaan besar dan tampak ada keterputusan hubungan pengkajian antara realitas pengaruh perubahan sarana fisik dengan perubahan corak kegiatan masyarakat itu. Jika corak kegiatan masyarakat dimana darinya dapat dilihat hidupnya budaya tidak ada korelasinya dengan keberadaan realitas fisiktadi, lantas apa yang menjadikan kegiatan masyarakat mampu memunculkan makna yang berbeda atau rasa? Justru menjauh dari realitas fisik “penopang daya ingat” itu. 

Disinilah terdapat lajur yang berbeda dalam menuai kesimpulan akan hadirnya makna tertentu dalam melihat “budaya” yang hidup dalam realitas corak kegiatan warga Bandung. dalam hal ini akan didapati bahwa realitas kegiatan masyarakat adalah realitas mengenai interaksi diantara individu-individu warga bandung. Mereka berinteraksi dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan maupun keinginan secara individu. Interaksi tersebut adalah upaya untuk saling menyepakati satu problem tertentu demi tertunaikannya tuntutan kebutuhan dan keinginan tertentu dari masing-masing diantara mereka dalam sebuah singgungan interaksi. 

Keadaan ini memperlihatkan bahwa sebelum terjadinya kontak interaksi telah terbentuk upaya tindakan menuju interaksi. Upaya tersebut terlihat sebagai hasil dari keputusan diri dari individu tersebut. Tampak bahwa keputusan diri adalah hasil dari kehendak yang mengikatkan antara anggapan boleh dan tidak boleh untuk ditentukan oleh ketentuan yang dikeluarkan pikirannya. Integrasi anggapan boleh dan tidak dengan apa yang dikeluarkan akal tentu menjadi persepsi tersendiri dalam mengarahkan tindakan/kegiatan menuju Interaksi. Dari realitas Interaksi yang terjadi, tampak adanya saling menerima kemaslahatan dan menolak kemudharatan dari keduanya. Dalam jejaring sosial yang terjadi dalam realitas Warga Bandung, kiranya interaksi-interaksi itu terjadi dengan dapat dilihat proses reduksi dari kebiasaan silih asah, silih asih dan silih asuh itu menuju individualisme akut.

Disinilah sebab utamanya yang menyebabkan proses reduksi itu terjadi. Yakni tatkala penentuan boleh dan tidak boleh akan melihat kemaslahatan dan kemudharatan tertentukan oleh pandangan masing-masing individu dalam lingkaran Warga Bandung itu sendiri. Tuntutan akan hadinya pihak mediasi atas berjalinnya interaksi itu untuk mengadakan otoritas menyebabkan hal yang serupa dalam masalah penentuan, yakni keputusan segolongan pihak yang mengatasnamakan wakil dari aspirasi rakyat. Prosesi ini tampaknya tidak mengalami perubahan sejak era kolonial. Kegiatan-kegiatan yang tentu bersandar kepada pengelian kewenangan kepada pemilik otoritas dengan “subjektivitasnya” menurunkan berbagai kebijakan-kebijakan terahdap rakyat. 

Hal inilah yang membiasakan kegiatan masyarakat selalu dimotori dengan pertimbangan manfaat. Yakni pertimbangan untung dan rugi. Dari sini dapat ditarik nilai yang hadir dan hidup serta menyatu dalam gerak manusia Bandung yakni nilai kapital. Jika demikian adanya, bukan tidak mungkin, warga bandung dengan kemujuranyang ada akan tertopang dengan nilai tersebut yang dijadikan patokan dalam interaksi. Alhasil, akan hadir aktor-aktor dominan berbasis nilai kapital sehingga melahirkan aktor “kapitalis” yang mendominasi masyarakat. Dalam tahap yang akut, demikianlah interaksi itu akan dipelajari dan terposisikan sebagai model kehidupan warga bandung sehingga mewujudkna makna dari realitas warga Bandung yang menjauh dari apa yang disebut silih asah, silih asih dan silih asuh itu.

Kenyataan ini justru sejalan dengan upaya pemerintah kota Bandung dalam mengimpor budaya-budaya liberal asing kedalam Kota. Bahkan dari sisi realitas sarana fisik sekalipun, misalnya pembangunan kota yang mengikuti corak-corak dari barat (jika memang ingin melestarikan peninggalan leluhur, tentu ini menjadi kebijakan yang menentangnya). Bahkan kebijakan-kebijakan pemerintah tampak berbasis pada pertimbangan nilai Kapital, terlihat dari upaya “mengkomersialisasikan” lahan eks palaguna ini. Kiranya dengan kebiasaan yang ada pada diri pemerintah baik kota maupun provinsi bahkan pusat sekalipun telah menunjukan kebijakan-kebijakan yang sejalur dengan kebiasaan kolonial dulu. Seolah mereka menjadi generasi penerus dari raelitas pemegang otoritas itu dalam menjalankan roda kepemimpinannya. 

Maka, dimana perbedaannya antara warga yang merdeka dan tidak? Dapat ditebak pula, tatkala pemkot mencoba membangun pusat budaya di Cibiru, maka bukan tidak mungkin nilai kapitalah yang menjadi motif utamanya. Alhasil, peninggalan leluhur itu atas dalih pelestarian justru dijadikan komoditas untuk menopang nilai kapital demi menopang semakin mahalnya hidup dikota Bandung ini. Pada poin ini pun semakin jelas bahwa upaya menaikan daya ingat masyarakat melalui penambahan “fakta fisik” peninggalan leluhur tampak tidak memiliki pengaruh sebagai subjek penggerak kegiatan warga Bandung, namun yang terjadi adalah sebagai objek atas sesuatu yang lain yakni hidupnya nilai kapital sebagai pendorong kegiatan masyarakat sehingga melihat “budaya” sebagai komoditas yang tak berdaya.

Bandung Ngajorowok!

Dasar filosofis bagi realitas fisik yang telah dibredel sejak perkembangan kota Bandung ini tampak menjadi perkembangan yang mengkhianati titik awalnya. Tak hanya itu, pelibatan elemen alam telah dieleminir dalam perjalanannya sehingga pekembangan Kota semakin mengintimidasri tanah-tanah yang menjadi pijakan tata ruang yang ada. Dua hal ini menjadi bukti bahwa ada kelakuan manusia yang tidak beres yang tiada lain dimotori oleh paradigma yang menekankan semangat kapital dimana tengah hidup dalam ruang interaksi-interaksi manusia Bandung. Inilah sebab utamanya kota Bandung menjadi “Kejam” dan tak lagi ramah. 

Warga kecil tergerus ia harus “pulang kampung” meski kampungnya telah digusur oleh mesin-mesin penggusur karena kejamnya korporasi-korporasi yang mengambil lahan didesa-desa. Mereka Ngajorowokdi Bandung yang tersimbolisasi dititik Palaguna. Inilah PR (Pekerjaan Rumah) penting dalam menggeser “faktor penggerak” yang kapitalis itu dari tubuh individu-individu bandung demi terjalankannya interaksi tanpa arogansi. Hal ini menuntut pengkajian secara serius, bagaimana Warga Bandung diposisikan dan seperti apa mereka memahami hakikat dirinya diatas Kota ini sehingga keberjalanan kehidupan ini turut meredam jorowokanBandung bahkan menjadikan Bandung lebih asri, ramah dan menuai makna kebahagiaan sejati. Dan tidak menutup kemungkinan, Warga bandung yang silih asah, silih asih dan silih asuh mesti terwujud tanpa semangat kapitalis itu!

               

Tim Kajian Strategis

Gerakan Mahasiswa Pembebasan Kota Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun