Terlebih yang terlibat dalam perencanaan hingga pengamanan, wajib paham rivalitas kedua tim. Hal ini mesti menjadi pre teks, perencanaan, skema pengamanan laga 1 Oktober 2022 itu.
Dengan menyadari sungguh rivalitas ini, deteksi dini, pembekalan kendalikan situasi di lapangan sangat penting.
Dalam konteks inilah saya menempatkan kata tragedi dengan tanda kutip. Maksudnya, bukanlah sebuah tragedi jika sesuatu bisa diprediksi dan dikontrol. Namun, kata tragedi terkait Kanjuruhan sudah berseliweran dalam pemberitaan dan media sosial.
Kegagalan dalam aspek perencanaan dan langkah antisipatif berujung pada  kepanikan ketika massa memasuki lapangan pertandingan usai laga.Â
Penggunaan gas air mata yang jelas - jelas dilarang FIFA, lebih cendrung karena kepanikan bukan pengamanan.
Ketika pertama kali, mendapat informasi dari rekan - rekan yang pernah mengeyam pendidikan di Malang, saya mengira, bahwa peristiwa Kanjurahan itu akibat bentrok antar suporter kedua tim.
Ternyata tidak! Keterangan Menko Polhukam, Mahfud Md, dalam tayangan YouTube, Kemenko Polhukam RI, Senin 3 Oktober 2022, suporter Persebaya Surabaya tidak diperbolehkan menonton laga itu.Â
Ratusan nyawa melayang sia - sia lantaran suporter kekurangan oksigen, terinjak-injak, berdesakkan keluar stadion, pasca polisi menembakkan gas air mata di dalam stadion.
Pada judul, saya menulis 'ricuh tak biasa'. Yah, umumnya dalam sepak bola kericuhan biasanya terjadi akibat bentrok antar suporter dari tim yang berbeda.
Diberitakan berbagai media, kericuhan berawal dari sejumlah suporter yang merangsek masuk ke dalam stadion. Entah apa yang terjadi setelah itu.
Namun, dalam beberapa potongan video yang beredar di media sosial, tampak ada sejumlah suporter yang masuk ke lapangan, bersalaman dan memeluk pemain Arema FC.