Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ramalan Maya dari Iran

5 Maret 2017   04:40 Diperbarui: 5 Maret 2017   20:00 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hossein Derakhsan, blogger Iran-Kanada, FOTO: nytimes.com

Apa yang dikatakan Hossein ini kiranya benar. Saat ini, sensai lebih dominan ketimbang berita yang benar. Jangan heran jika sebuah foto pun akan mengundang banyak sensasi ketimbang sebuah status tanpa foto. Status yang hanya berisi kalimat atau tulisan opini malah sering diabaikan. Ini pertanda, pengguna facebook dan media sosial pada umumnya makin jarang berpikir. Status tulisan bukan lagi untuk ditanggapi dengan mengkritisinya tetapi diabaikan begitu saja. Tidak ada lagi kebiasaan untuk berpikir sejenak sebelum menanggapi isi tulisan. Pengguna lebih senang dan tertarik dengan sensasi gambar yang bisa dinikmati dalam sekejab mata.

Pemandangan di Iran, FOTO: storyengine.io
Pemandangan di Iran, FOTO: storyengine.io
Kemalasan untuk berpikir ini juga menjadi awal dari munculnya berita palsu “fake news”. Berita semacam ini berkembang pesat di internet saat ini. Bahkan, berita benar juga kadang diformulasi ulang sehingga menjadi berita palsu. Pemirsa dan pembaca pun makin berilusi dengan situasi seperti ini. Berita palsu memang lebih banyak menciptakan ilusi ketimbang mengajak untuk berpikir kritis.

Isu “fake news” ini juga muncul di dunia TV. Berita benar di TV—tegas Hossein—kadang diolah menjadi semacam “realitiy show”. Dengan menjadi sekadar reality show, akurasi berita pun berkurang dan kadang melenceng dari fakta. Hossein pun menduga jika Trump mengunakan sistem ini pada pemilu AS. Sesaat sebelum pemilihan di AS, Hossein menulis status seperti ini, “Trump adalah produk TV dan akan memimpin negara paling banyak pemirsa TV di planet ini”.

Hossein kiranya tidak keliru dan memang pada akhirnya status ini menjadi nyata. Itulah sebabnya, ia melihat bahwa kecenderungan ini juga sudah masuk dalam dunia politik. Politik pun bukan lagi menjadi ajang perjuangan kepentingan rakyat, tetapi hanya semacam ajang pertunjukkan. Lihat saja model pemilu di AS dan Indonesia. Trump dan Clinton berlomba menjadi tokoh menarik di kampanye “realitiy show”. Situasi serupa terjadi di pilkada Jakarta. Ahok, Agus, dan Anies hanya merebut posisi tokoh utama di atas panggung politik “reality show”. Politik—dengan demikian—dibunuh oleh pengaruh media sosial.

Untuk mengubah situasi ini, diperlukan pendidikan media sosial. Jika tidak, pemirsa media sosial akan cenderung untuk selalu khawatir. Kekhawatiran ini muncul karena tidak ada pegangan akan kebenaran. Bayangkan jika sebagian besar isu utama hanya menjadi semacam berita palsu. Masyarakat tidak bisa lagi mendasarkan penilaian dan pendapatnya pada berita yang disuguhkan media sosial.

Kekhawatiran ini juga muncul dari kecenderungan untuk mementingkan kelompoknya sendiri. Dunia maya saat ini—tegas Hossein—cenderung membentuk kelompok berdasarkan agama, kelompok sosial, jenis pekerjaan, dan sebagainya. Padahal—sambungnya—di dunia web, semua informasi mesti ada. Itulah sebabnya, pemirsa mesti menerima realitas maya yakni pluralitas informasi. Jika tidak, pemirsa hanya akan membentuk kelompoknya sendiri menjadi eksklusif seperti di dunia nyata.

Hossein di tanah airnya, FOTO: iranto.ca
Hossein di tanah airnya, FOTO: iranto.ca
Hossein menilai kekhawatiran ini hanya bisa diatasi dengan sistem pendidikan. Warga mesti dididik untuk menggunakan media dengan baik. Di sini termasuk mengkritisi isu dan berita yang muncul. Hossein mengatakan bahwa ada relasi erat antara tingkat pendidikan di sebuah negara dengan tersebarnya berita palsu oleh media di sebuah negara. Itulah sebabnya, untuk cakupan yang lebih luas, Hossein pun mengajukan kepada PBB untuk memerhatikan pendidikan media sosial seperti ini.

Hossein yang diberi gelar “bapak blogger Iran” ini juga melihat kecenderungan yang boleh dibilang aneh di dunia maya. Kecenderungan ini adalah mereduksi cara berpikir menjadi sebatas suka dan tidak suka. Ia kiranya menunjuk status pada facebook yang bisa ditanggapi dengan memberi reaksi seperti suka-tidak suka, senang-sedih, woao, dan sebagainya.

Hossein melihat fenomena ini sebagai bentuk pereduksian cara berpikir. Bagaimana mungkin dalam sekejab seseorang bisa menilai sebuah pendapat dengan rasa ‘suka-tidak suka’. Menurut Hossein, kita yang hidup saat ini lama-lama akan menjadi produk dari isu-isu bermental instant suka-tidak suka. Sebuah generasi minim berpikir dan penuh sensasi.

Sebuah media sosial—menurut Hossein—mesti jeli melihat peluang untuk berkmbang tanpa mengabaikan nilai-nilai positif dalam masyarakat. Ia pun meramal masa depan facebook yang akan teus berkembang. Ia menilai, facebook termasuk satu media yang jeli melihat peluang. Facebook menurutnya bermula dari berbau topografia dan sekarang berkembang menjadi fotografia. Fotografia saat ini sudah diambil alih pengaruhnya oleh instagram, dan twitter mengambil sisi tipografia dengan membatasi jumlah karakter. Facebook—menurut Hossein—terus mencari yang belum ada di media lain.

Itulah sebabnya facebook mati-matian membuat rangkaian baru berupa videografia. Lihat sekarang, facebook bisa membuat video langsung (direct). Menurut Hossein, ini bagus demi perkembangan masa depan facebook. Namun, jika facebook tidak melihat nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat, bukan tidak mungkin pada suatu saat, jangkauannya akan dibatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun