Adakalanya pertimbangan keadilan, norma-norma hukum bagai cuaca merubah awan-awan di musim kemarau menuju musim penghujan atau sebaliknya. Barangkali, hakikat kewajiban mencapai makrifat, mufakat-total. Langit di negeri ini milik kami-Bukan langit di negeri alien itu. Â
Langitku natural. Bagus nan indah. Baik nan benar. Kadang bagai cermin air bergerak alamiah menjadi blur nan fokus, berulang kali bersama kewajaran harmoni iklim di usia musim. Gerakan cuaca tanpa terasa memindahkan waktu siang menjadi sore lalu berlalu menuju malam, gelap-gulita bersama bintang kecil gemerlap penerang nurani.
Nurani. Ada, di antara cuaca gelap ataupun terang, kadang setitik cercah cahaya bermanfaat filsafat tertulis di teks buku-buku norma hukum-hukum. Berguna bagi semua iklim di musim-musim.
Ada harapan di cahaya. Di berbagai sudut pandang, disikap kehidupan. Berlaku bagi personal maupun kelompok bening untuk kebijaksanaan negeri tercinta.
Tapi, tidak untuk gerombolan rayap pemangsa segala kisah tentang sejarah semesta, liurnya mencoba menyulap menjadi daur ulang sejarah semesta baru.
Seakan-akan mampu merubah kebenaran sejarah bumi, menjadi wajah baru hipokrisi hu.la.la strategis multilateral atau antar benua, mungkin juga antar planet, simpan pinjam senjata perang lempar batu sembunyi tangan, memencet hidung kelinci, si lemah.
Syair Tanah Merdeka
Alam telah menetapkan norma hukum hujan-petir,
kemarau-mata air, asal tanah menjadi benih tertanam.
Bukan fosil batu akik,
lantas mencoba membiaskan seakan-akan indah,
namun tak sampai menjadi cermin keteladanan.
Sekadar amsal ham.him.hum,
ambiguitas mastodon malam.