Mohon tunggu...
Syukron
Syukron Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Akademisi hukum

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Phobia Cina di Nusantara

23 Desember 2018   11:22 Diperbarui: 23 Desember 2018   11:57 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali dengar keturunan cina pasti rakyat Indonesia bawaannya emosi. Sebenarnya ada apa sih antara warga negara indonesia dengan cina atau warga keturunan cina yang ada di indonesia? Sekarang Pun masih terasa ketika pekerja asing dari cina yang bekerja di perusahaan yang ada di indonesia yang menjadi sorotan netizen sampai kita terbawa emosi dengan penggiringan opini yang diberitakan media-media pada saat ini. 

Sampai dengan isu muslim uighur yang terjadi di xinjiang cina menjadi sorotan indonesia dengan mengecam pemerintahan cina dengan diadakannya demo di jakarta dan jogja yang notabene masyarakat kita tidak begitu paham atas apa yang sebenarnya terjadi di xinjiang terhadap muslim uighur.

Pada dasarnya cina dan indonesia terjalin hubungan yang harmonis, banyak orang cina yang bermigrasi catatan yang tercatat dalam buku Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia(Z.M. Hidajat) sejak abab 5 orang cina sudah bermigrasi ke nusantara. Puncak Migrasi besar-besaran orang cina ke nusantara  pada abad 19-20 tepatnya pada tahun 1859-1930 sampai dengan perang dunia II. 

Imigran cina yang paling banyak  melakukan migrasi dan bermukim di nusantara kebanyakan dari suku hokkian dan hakka yang tersebar di indonesia timur, jawa, sumatera barat.(tionghoa dalam pusaran politik,benny g setiono, transmedia:2008)

Sebelum migrasi orang cina secara besar-besaran ke nusantara. banyak historis  phobia terhadap orang cina di Indonesia dipicu oleh kecemburuan warga nusantara kepada etnis cina. Yuk kita tarik ke belakang kenapa masyarakat kita sampai saat ini masih phobia dengan cina.
 
Pada awalnya antara cina dan orang di jawa sangat baik-baik saja. Orang cina ke nusantara hanya ingin mencari penghidupan dan berdagang. ( Tionghoa dalam pusaran politik,Benny G Setiono, transmedia:2008) Pada perlawanan  Paku Buwono II terhadap VOC, etnis cina dan jawa terjalin kerjasama, terbukti orang-orang Tionghoa di Semarang turut serta membantu Paku Buwono II. 

Sikap etnis cina ini didorong untuk balas dendam pada VOC atas peristiwa pembunuhan massal etnis cina di Batavia tahun 1740. Perlawanan yang dilakukan Paku Buwono II dengan orang Tionghoa ini mengalami kegagalan dan membuat mereka semakin terdesak.(Alex Sudewa, Dari Kartasura ke Surakarta, Yogyakarta: Lembaga Studi Asia, 1995)

Namun Sikap politik Paku Buwono II berbalik, ia menjadi akomodatif terhadap VOC Setelah paku buwono II mengalami kekalahan. Perubahan sikap politik Paku Buwono II ini menimbulkan kekecewaan pada orang-orang Tionghoa yang telah membantunya melawan VOC. Bentuk kekecewaan orang-orang etnis cina diluapkan dengan turut mendukung pemberontakan Raden Mas Garendi terhadap Paku Buwono II.

Serangan yang didukung oleh orang-orang etnis cina itu berhasil menduduki Keraton Mataram di Kartasura, sehingga peristiwa ini juga dikenal dengan geger pecinan tahun 1742. Sebelum meletus geger pecinan, Paku Buwono II pada bulan November 1741 telah melakukan penyerbuan terhadap kantor VOC di Semarang dengan kekuatan 20.000 orang yang sebagian pasukannya adalah orang etnis cina meskipun penyerbuan itu mengalami kegagalan. 

Pada bulan Juli di tahun yang sama, Paku Buwono II juga menumpas Garnisun VOC yang bertugas di Kartasura. Raden Mas Garendi yang memimpin penyerangan Paku Buwono II di Kartasura merupakan cucu Amangkurat III, ia diberi gelar Sunan Kuning. Nama Sunan Kuning diberikan oleh orang etnis cina karena memimpin kaum kulit kuning atau orang Tionghoa.(M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991)

Didukung oleh VOC, Paku Buwono II berhasil menumpas pemberontakan raden mas said yang dibatu oleh orang-orang tiongha dan merebut kembali Keraton Mataram(R.M. Sajid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko, 2001) Pada Masa kepemimpinan Paku Buwono IV (1780-1820), pemerintah kolonial Belanda menunjuk pemimpin bagi orang-orang etnis cina yang berpangkat mayor, mungkin ini yang menyebabkan kecemburuan sosial antara keturunan cina dengan masyarakat umumnya, dimana masyarakat umum ditunjuk oleh pemerintahan belanda menjadi bawahan orang keturunan cina.(George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990)

Di Yogyakarta Pun terjadi phobia cina, di jawa pembantaian etnis Tionghoa terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830). September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun