Mohon tunggu...
Money

AEC 31 Desember 2015, Jadi?

10 Juni 2015   18:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada tahun 2007, peringatan 40 tahun berdirinya Association of South East Asian Nations (ASEAN) melahirkan kesepakatan untuk menandatangani Free Trade Agreement (FTA) dengan negara-negara mitra perdagangan negara-negara ASEAN seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Gagasan mengenai ASEAN Economic Community (AEC) juga disepakati pada tahun yang sama pula direncanakan untuk diimplementasikan pada tahun 2015. Hal ini menunjukkan komitmen yang kuat bagi negara-negara Asia Tenggara untuk bersama membangun komunitas regional yang kuat dalam jangka panjang.

Rencana implementasi AEC ditandai dengan tercapainya Mutual Recognition Agreement (MRA) yang mengandung liberalisasi aliran tenaga kerja yang telah dikategorikan untuk 7 jenis profesi yang telah disetujui. Hal ini diharapkan berdampak kepada meningkatnya mobilitas tenaga kerja di Asia Tenggara yang akan meningkatkan efisiensi dari aliran tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan dan kapasitas produksi negara-negara yang tergabung dalam AEC

Meskipun AEC tampaknya merupakan bukti nyata komitmen negara-negara ASEAN untuk melakukan integrasi, AEC tidak mendapatkan jalan semulus yang diharapkan. Implementasi AEC yang rencananya dilakukan pada awal tahun 2015 kembali direvisi untuk diterapkan pada akhir tahun 2015. Hal ini mulai menimbulkan spekulasi bahwa AEC sesungguhnya tidak terlalu diminati oleh negara-negara yang pada awalnya menyepakati adanya AEC. Polemik mengenai keberpihakan AEC mulai muncul ketika AEC menunjukkan indikasi hanya menguntungkan beberapa negara saja. AEC yang merupakan salah satu produk konsensus kerjasama ASEAN sangat bergantung kepada kekuatan kebersamaan dari negara-negara anggota ASEAN itu sendiri.

Kerjasama ASEAN yang telah menginjak usia 45 tahun pada 2012 lalu menunjukkan awal tanda perenggangan hubungan regional ini. Kamboja pada pertemuan ASEAN tersebut menolak untuk mengajukan pernyataan tidak setuju atas tindakan Republik Rakyat Tiongkok atas klaimnya terhadap Laut Cina Selatan. Hal tersebut merupakan pertama kalinya pada 45 tahun terakhir pertemuan negara-negara ASEAN tidak mencapai konsensus. Secara prinsip, ASEAN hanya dapat mengeluarkan pendapat, tindakan, dan dukungan hanya melalui konsensus. Apabila salah satu negara anggota ASEAN tidak menyetujui, maka kesepakatan yang tersebut tidak tercapai.

Proses reklamasi yang dilakukan oleh Tiongkok di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan mengundang polemik dan respon keras dari berbagai negara yang berada di sekitarnya. Pembangunan fasilitas yang ada di pulau tersebut mencakup lapangan udara dan pelabuhan yang berpotensi sebagai langkah awal militarisasi Tiongkok terhadap Laut Cina Selatan. Filipina dan Vietnam yang merupakan negara yang memang sudah mengalami hubungan yang tegang dengan Tiongkok merespon dengan keras tindakan Tiongkok tersebut di area yang menjadi sengketa regional.

Permasalahan regional ini diangkat dalam Shangri-La Dialogue di Singapura pada akhir Mei lalu yang merupakan forum pertahanan negara-negara di Asia-Pasifik. Dalam forum tersebut, Amerika Serikat mengklaim bahwa Tiongkok telah memasang instalasi persenjataan artileri di pulau buatan tersebut. Hal ini direspon oleh Tiongkok sebagai usaha meningkatkan keamanan di jalur perdagangan Laut Cina Selatan.

Ketegangan yang meningkat di Laut Cina Selatan ini diperkeruh dengan tindakan Vietnam dan Filipina yang secara langsung membuka kawat komunikasi dengan Amerika Serikat untuk membahas pertahanan dan kemanan di Laut Cina Selatan. Hal ini berbeda dengan sikap Kamboja yang tidak mempermasalahkan Tiongkok untuk melakukan reklamasi pulau tersebut. Perbedaan sikap dalam sengketa Laut Cina Selatan ini membuat hubungan antar negara-negara anggota ASEAN dikhawatirkan merenggang.

Perenggangan hubungan kerjasama di tingkat ASEAN ini memungkinkan AEC untuk direvisi atau bahkan diberhentikan sama sekali. Bukan tidak mungkin usaha bersama yang telah berjalan bertahun-tahun yang telah dilakukan untuk mencapai integrasi ASEAN akan pupus begitu saja.

Ketegangan yang meningkat ini ternyata tidak hanya menjadi permasalahan regional sederhana. Sejarah menujukkan bahwa hubungan regional antarnegara di sekitar Laut Cina Selatan memang tidak memiliki rekam jejak yang baik. Permasalahan sengketa yang rumit ini pada akhirnya meluap dan memanas dengan peristiwa reklamasi pulau yang dilakukan oleh Tiongkok.

Keutuhan ASEAN tampaknya dipertaruhkan dalam ketegangan ini dimana masing-masing negara di sekitar Laut Cina Selatan satu per satu mulai mengambil pihak. Keberlanjutan ketegangan ini seperti mengisyaratkan bahwa bukan tidak mungkin suatu hari nanti ASEAN akan pecah. Memang sampai saat ini ASEAN merupakan contoh kerjasama regional terbaik meski secara teori ASEAN merupakan kerjasama yang didirikan di atas kondisi yang paling tidak ideal. Namun, jika memang ketegangan ini terus menguat, akankah AEC diimplementasikan?

PSB Soemitro Djojohadikusumo, 10 Juni 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun