Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Santri Butuh Hari Santri Nasional?

24 Oktober 2015   01:42 Diperbarui: 24 Oktober 2015   21:28 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Santri Ar-Raudhatul Hasanah Islamic sedang membaca Alquran. (thejakartapost.com)

Untuk Hari Santri Nasional

Pesantren itu kolot.

Sederhana sekali rumusan itu! Seperti membuat teh celup saja, asal air sudah panas, masukkan teh celup, tambahkan gula, jadilah teh celup! Sesederhana itukah perumusan kata HASANAL sebagai singkatan Hari Santri Nasional?

Teks-teks kajian tentang pesantren dan santri telah banyak ditulis. Ada banyak rumusan di situ. Di antara rumusan yang paling saya suka adalah rumusan yang dikemukakan oleh Kang Marzuki Wahid:

“Pesantren adalah wacana yang hidup. Selagi mau, memperbincangkan pesantren senantiasa menarik, segar, aktual, dan—perlu dicatat tidak mudah … pesantren memiliki banyak dimensi terkait … tetapi ia sangat percaya diri (self-convident) dan penuh pertahanan (self-defensive) dalam menghadapi tantangan di luar dirinya. Karenanya, orang kesulitan mencari sebuah definisi yang tepat tentang pesantren … kelihatan berpola seragam, tetapi beragam; tampak konservatif, tetapi diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ambisi merumuskan entitas pesantren secara tunggal, apalagi coba-coba memaksakan suatu konsep tertentu untuk pesantren, tampaknya tidak mungkin berhasil.”[1]

Memang aneh: kiprah dan keterlibatannya dalam mendidik bangsa Indonesia sudah berabad-abad namun jasa-jasa santri tidak—atau boleh Anda bilang, belum—terlembagakan dalam bentuk hari. Apakah penetapan hari nasional itu adalah bentuk mutlak apa yang disebut sebagai penghargaan? Tidak pernah ditanyakan apakah santri dan pesantren membutuhkan pelembagaan semacam itu. Atau, apakah perlu pelembagaan semacam itu?

Mengapa pesantren mendadak kerasukan perasaan penting memiliki ijazah yang bisa diakui di perguruan tinggi formal?

Empat tahun lalu, tiba-tiba saya merasa bangga dan terpanggil untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa beasiswa Program Peningkatan Guru Madrasah Diniyyah, saat-saat saya baru pertama kali mendengar kata ‘sertifikasi’, bahwa sertifikasi adalah uang. (Bahasa Suroboyoannya, keno dinggo golek duit gae mbadok, iso entuk sertipikasi guru, yen S1 duwet sertipikasine tambah akeh).

Angan-angan saya melambung. Setelah S1, nanti cari beasiswa S2, lalu S3, lalu S4 (Pasca Doktoral). Melayang-layang di udara, mengikuti semilir angin, hilang kesadaran, hingga kepala saya kejedot kenyataan. Baru tersadar, tiga tahun kemudian, ketika nilai empat mata kuliah saya adalah E. (Maksudnya, entek dan empty). Seolah menjadi representasi bahwa santri itu kolot, tapi saya tidak mempercayainya.

Semester pertama dan kedua, materi kuliah masih wajar. Mulai semester tiga hingga tujuh, tak wajar. Kawan saya, Ahmad Faruq, yang motivasi kuliahnya hanya ingin tahu bagaimana rasa kuliah, menggerutu: “Jare peningkatan Guru Madrasah Diniyyah, tapi meteri kuliahe ora enek sing mambu pondokan!” Awalnya saya tidak menyadarinya, tetapi begitu saya kegencet pengalaman kuliah, saya menulis:

ANEKA MAKAN POKOK

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun