Perempuan cantik yang duduk di dekat jendela kantin kampusku itu bernama Sabrina. Rambutnya panjang, kulitnya putih bersih, dan senyumnya sungguh manis, bahkan mengalahkan manisnya teh hangat yang kupesan. Oh, ya, satu lagi.... kehadirannya di kantin ini membuat jiwaku terasa hangat, lebih hangat dari teh yang baru saja tiba di mejaku. Ouch! Sungguh mendebarkan kala kulihat senyumnya.
Sabrina itu mahasiswa tingkat dua, sedangkan aku mahasiswa tingkat akhir. Dia adik tingkatku. Aku mengenalnya saat acara orientasi mahasiswa baru. Aku sudah cukup dekat dengannya. Karena itulah, aku berpikir ingin melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.Â
Tentu saja aku tak mau dibilang lelaki PHP, memberi harapan saja atau cuma mau senang-senang saja. Tidak seperti itu, Fergusso! Aku mendekati Sabrina karena memang ingin lebih serius dengannya. Bukan sekadar friendzone seperti yang dikatakan para sobat dekatku. Hanya saja, aku belum menemukan waktu yang pas untuk mengutarakan isi hatiku pada Sabrina.Â
"Sob, menurutmu apa yang harus aku bawa saat menembak Sabrina?" tanyaku pada sobatku, Ahmad.
"Ya tembak langsung sajalah! Memangnya mau bagaimana lagi? Nggak usah basa-basi toh kalian sudah dekat selama ini!" jawab Ahmad.
"Ah, nggak serulah! Nggak ada kejutannya!" ujarku.
"Biasa aja, kali! Kayak nggak pernah nembak cewek aja kau ini!" seru Ahmad.
"Itu... Sudah sekian purnama aku nggak pernah dekat dengan cewek. Jadi rasanya ini seperti yang pertama kalinya!" jawabku sekenanya.
"Bohong kok dipelihara!" seru Ahmad, lagi.
"Ah, diam kau!" balasku.
"Bung, menurutku kau harus bawa motor yang keren. Pakai baju yang rapi, bersih, wangi. Bawakan bunga atau cokelat oke juga," saran Dino, sobatku yang satu lagi.