Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Tidak Mau Munafik

29 November 2015   00:25 Diperbarui: 29 November 2015   00:25 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan diterima dengan baik atau tidak. Tetapi terkadang saya merasa, setiap kali saya mencoba menuliskan opini, saat itu pula saya menguji independensi saya, keberanian dan kenekatan saya untuk mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahan saya.

Saya ingin bertanya, apakah dalam hidup anda pernah berada pada titik dimana anda melihat banyak ketidakadilan di muka bumi ini, baik itu yang menimpa diri anda sendiri atau yang tidak menimpa orang lain? Saya kini begitu tergelitik untuk bisa bertahan dalam ketegangan mengolah kepercayaan, tahu kenapa?

Sebut saja saya terlalu terbawa perasaan, tetapi ketika salah seorang teman saya mengirimkan foto kemegahan di Gereja Katedral untuk pernikahan anak Setyo Novanto, hati saya merasa gelisah. Entah mengapa, tetapi wajah gereja yang megah seperti bukan wajah gereja yang saya inginkan. Makin gelisah lagi ketika kawan saya ini iseng mengirimkan foto buku upacara pemberkatan pernikahan anak Setyo Novanto. Kebetulan yang memberkati ada tiga pastor, salah satunya adalah seorang uskup.

Buat handai taulan, sebagian umat Katolik di Jakarta mungkin merasa itu hal yang lumrah apabila pemberkatan pernikahan dilakukan misa konselebrasi, dimana ada lebih dari satu imam yang memberkati. Tetapi entah mengapa kegelisahan itu mencuat menjadi bentuk ketidakadilan.

Kamu tahu, tahun ini salah satu paman saya, sepupu ayah saya tepatnya, meninggal dunia. Beliau disemayamkan di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Paman saya hidup pas-pasan (boleh juga kalau ada handai taulan yang mengatakannya miskin) sebagai buruh di Jakarta Utara. Dia meninggal dunia karena serangan jantung, setelah sebelumnya terserang stroke akibat darah tinggi. Jika kamu menderita darah tinggi, seumur hidup kamu harus mengonsumsi obat penurun darah tinggi, tetapi om saya karena kendala keuangan dan tidak ingin merepotkan siapapun, nekat tidak pernah mengonsumsi obat darah tinggi. Alhasil dia pun meninggal dunia karena penyakit tersebut.

Ketika dia meninggal, saya sungguh sedih karena imam di paroki tidak (mau) memberikan misa requiem dengan alasan SIBUK. ADA JANJI LAIN. Spontan Ibu saya kebingungan juga dengan kondisi lingkungan umat Katolik yang terkesan acuh tak acuh dengan sesamanya. Paman saya pun hanya mendapatkan pemberkatan dari prodiakon. Padahal konteksnya, paman saya meninggal dunia, bukan menikah. Sesuatu kejadian yang saya harapkan harusnya bisa menjadi prioritas pemuka agama siapapun itu, dari agama manapun, entah imam sampai ustadz untuk mendoakan, bukan begitu?

Ayah saya lalu berkata, “Kamu harus terbiasa dengan kenyataan Ibu Kota, Nona. Imam-imam kita pada masa kini banyak sekali yang mengabdi hanya karena uang dan kepentingan orang kaya. Kalau orang miskin, ya nomor dua. Atau bahkan tidak dipedulikan,” ungkap ayah saya yang entah mengapa menampar saya sungguh teramat dalam. Ayah saya sempati berpikir negatif, jangan sampai imam berpikir kalau keluarga orang miskin tidak mungkin bisa memberikan sipendium yang besar, jadi untuk apa diperjuangkan?

Saya hanya mencoba membandingkan saja konteks kasus paman saya dengan kasus anaknya Setyo Novanto. Perlakuan dari gereja seperti bumi dan langit. Bagaimana sih agar menjadi umat yang diperhatikan imam hanya untuk didoakan dan diberkati? Harus sering ke gereja? Harus sering berdoa? Harus aktif kegiatan sana sini yang berbau keagamaan? Harus apa-apa yang dilakukan atas nama Katolik? Begitu?

Sungguhlah saya tidak habis pikir dengan kejadian itu. Atau bisa jadi saat ini saya sedang sesat pikir. Tetapi coba renungkanlah baik-baik, jika itu terjadi dengan keluarga anda sendiri. Jika tidak bisa, saya tak memaksa, karena tak semua orang terlahir dalam lingkungan keluarga miskin dan dari perantauan atau ras yang minoritas, bukan?

Saya sungguh menggugat dimana wajah gereja yang sederhana dan berpihak pada yang miskin. Saya tidak lagi melihat wajah itu di gereja-gereja Ibu Kota, apalagi gereja di Jakarta. Saya sungguh masih berharap para imam yang berkarya di pedalaman masih mengamalkan kemiskinan Kristus sendiri. Itulah sebabnya saya tak mau mengeneralisir. Saya juga sebenarnya tak mau menutup mata pada sejumlah kemewahan hidup yang dimiliki para imam-imam. Saya tak perlu mempertanyakan darimana sumbernya, tetapi saya cukup tahu bahwa realitas kehidupan yang miskin dan tertindas itu kian buyar dari wajah gereja.

Saya menyesalkan sisi subjektif saya yang judgemental atas kejadian pernikahan anak Setyo Novanto ini. Saya sangat paham pada hukum dasar gereja, hukum cinta kasih, dimana orang berdosa siapapun, koruptor sekalipun, selalu berhak mendapatkan maaf dan kesempatan bertobat dan diterima sebagai bagian dari Gereja, bukan dikucilkan. Ditambah lagi permasalahan korupsi ini tak ada kaitan langsung dengan anak dari Setyo Novanto (yang kalau boleh saya tambahkan pun sampai saat ini sedang dalam proses penyidikan sehingga SN ini harus selalu diberi hak praduga tak bersalah). Anaknya ya anaknya. Bapaknya ya bapaknya. Sehingga sangat tidak etis melibatkan anaknya dalam masalah ini. Dan ya, satu lagi, saya juga tak akan lupa pada visi misi gereja Katolik yang selalu berpihak pada segala lapisan umatnya, miskin dan kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun