Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Baduy Tolak Dana Desa, Kok Bisa?

15 Februari 2019   14:58 Diperbarui: 15 Februari 2019   15:35 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: travel.tribunnews.

"Kalian itu orang Indonesia, bego ya, maaf. Jahat sekali. Saya sangat kesal ketika pergi ke Baduy, sesama pendatang seperti saya, orang Indonesia, dia menolak makanan yang dibuat orang Baduy. Entah apa alasannya. Dia lalu minta mie instant. Kalian itu tak bisa menghargai budaya sendiri ya! Sementara saya dan pacar saya tidak meminta apapun. Kami makan dan menikmati apapun yang disajikan tuan rumah." Chris bercerita dengan nada emosi loh! Saya jadi super malu kala itu.

Berangkat dari cerita Chris dulu itulah sukses membawa saya terlempar jauh pada diskusi hari ini soal dana desa. Pembangunan sebenarnya bukan masalah awal. Namun pembangunan terjadi karena ada demand, alias permintaan, harus A. B. Dan C. 

Konsep-konsep demand itulah yang bahkan mempengaruhi anak-anak desa Baduy Dalam keluar, berganti baju menjadi Baduy Luar. Hidup mulai semi modern. Dengan modernisme itulah mereka mulai masuk juga dalam rantai kebutuhan pada jaminan sosial. Padahal bisa jadi, kalau mereka tetap di dalam, segala kebutuhan mereka sudah terpenuhi.

"Saya pengen coba naik mobil." Kata si anak Baduy Luar setelah keluar dari Baduy Dalam yang saya tonton dalam video Watchdog. Sedih. Entah mengapa. Di saat ayah dan kakeknya dulu sampai sekarang khatam jalan kaki tanpa alas ratusan kilometer.

Apalagi saya semakin sedih karena sadar mengetahui nilai hidup, falsafah hidup, sebuah komunitas, dikapitalisasi.

Semua kembali ke hak individu. Dana desa juga sebuah jaminan sosial. Dia hak yang bisa digunakan dan sebaiknya digunakan. Namun ketika hak ditolak, seperti logika orang golput saja, menolak memilih padahal punya hak maka ada banyak indikasi.

Bentuk perlawanan. Mungkin?
Kecewa pada realisasi. Mungkin?
Merasa hanya dijadikan "alat". Mungkin?
Sejatinya, dia merasa semua sudah cukup. Mungkin?

Apa yang menjadi hak saya bisa saya berikan kepada yang lain yang mungkin masih berkekurangan. Pemberiaan ikhlas adalah bentuk hak bukan?

Narasi di atas memang masih sangat lemah dan bisa jadi adalah sebuah asumsi. Argumen ini juga bisa saja dikritik sebagai sebuah argumen 'kaum fetish' yang hanya mengekalkan Baduy sakral dengan budaya, dan jika keluar dari budayanya, dia dianggap telah merusak tatanan budaya. Sejatinya ini bukan narasi orang fetish, ini adalah asumsi saya bahwa ada banyak faktor seseorang soal melepaskan dana desa.

Namun tulisan ini juga menjadi alarm, jangan main-main dengan anggaran negara, apalagi dana desa. Gunakanlah sebaik-baiknya dan seefektif mungkin untuk kebutuhan rakyat Indonesia.

Selamat menonton buat yang penasaran. Saya melampirkan link video sekaligus membantu Watchdog karena sudah lama tak lihat di TV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun