Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menantang Revolusi Mental

14 November 2015   17:41 Diperbarui: 14 November 2015   18:03 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bapak juga perlu mencatat, pada masa itu, tidak ada perangkat hukum yang dibuat oleh tingkat lokal untuk menciptakan pelayanan kesehatan, sebaliknya justru dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemungutan retribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Tidakkah logika ini berkebalikan dari cita-cita konstitusi dalam penerapan hak asasi manusia? Menemui fakta ini, saya mulai membaui adanya kebiasaan buruk yang mirip dengan premanisme namun berkedok pelayanan masyarakat. Sebuah kebiasaan memarjinalkan rakyat karena terbiasa mengikuti mentalitas penjajah yang transaksional. Ada uang, maka ada barang.

Sulitnya pembangunan fasilitas kesehatan yang layak ialah karena riwayat dari Kabupaten Jayawijaya yang merupakan daerah rawan konflik. Yang mana antara tahun 2003, kerap terjadi bentrok antara “kelompok tertentu” dengan tentara. Kondisi ini berakibat dengan penghancuran banyak fasilitas-fasilitas kesehatan akibat perang. Penyebab berikutnya, persis seperti yang dikatakan Bapak Rikard Bagun, yakni masalah politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Minimnya taraf pendidikan menjadi salah satu faktor utama dari ketertinggalan Jayawijaya dan beberapa daerah di Indonesia Timur lainnya untuk memahami masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam ranah daerahnya sendiri hingga ranah nasional.

Jika kita kembali kepada konteks pelayanan kesehatan, maka beberapa penyebab lain gagalnya pemerataan kesehatan di Jayawijaya secara lebih spesifik menurut SKP Jayapura adalah; 1. Dinas Kesehatan tidak memiliki data yang memadai karena sangat jarang menyusun pelaporan berkala, 2. Standar pelayanan minimum berupa fasilitas sarana dan obat-obatan yang tersedia belum memadai. Maka, jika ada warga dengan penyakit yang membutuhkan penanganan khusus, pasien akan dibawa ke rumah sakit di ibukota atau kabupaten terdekat, 3. Data akurat tentang mutu dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki Kabupaten Jayawijaya sangat meragukan dan membingungkan karena tidak pernah dilakukan rekap data secara berkala. Akibatnya, rasio yang tidak jelas ini memperkuat asumsi kegagalan sistem yang diberlakukan dan dijalankan oleh pemerintah daerah, 4. Alokasi anggaran Kesehatan oleh Dinas Kesehatan yang tidak transparan bahkan pernah mengalami penurunan dari APBD. Tahun 2005, APBD menganggarkan 10,5% untuk anggaran bidang kesehatan. Tahun berikutnya, yakni tahun 2006, anggaran untuk kesehatan dari APBD diturunkan menjadi 9,7% meskipun terjadi peningkatan nominal total APBD, 5. Terakhir, ini adalah penyebab geografis yang kerap kali menjadi alasan dari pemerintah pusat maupun daerah serta petugas kesehatan untuk membangun fasilitas yakni kendala geografis. Hal ini mengingat kondisi Jayawijaya yang bergunung-gunung dan saat itu akses jalan raya darat tidak bisa diakses dengan mobil.

Kekisruhan ini saya nilai tak lepas dari habit atau kebiasaan masyarakat baik pejabat maupun warga sipil yang abai pada sistem administrasi serta pemahaman akan kewajiban transparansi. Oleh sebab itu, Bapak mungkin sudah mengetahui konteks-konteks ini dan mencoba memberikan penyelesaian. Adapun solusi yang ditawarkan oleh Bapak dan Pak Jusuf Kalla seperti yang saya dengar langsung saat debat capres, yakni dengan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Bapak dan Pak JK menekankan pada perbaikan sistem dan melakukan revolusi mental terhadap segenap warga masyarakat Indonesia, terlepas dari apapun latar belakangnya.

Tidakkah secara ringkas dari point-poin kompleks diatas saya menyimpulkan kepada Bapak bahwa pemerintah daerah kita,warga Indonesia mengalami kegagalan dalam proses pengukuhan kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik. Kalimat barusan persis seperti yang diujarkan oleh Ibu Karlina Supelli dalam menanggapi Revolusi Mental yang diganyangkan oleh Bapak.

Ketika berhadapan dengan realitas salah satu bagian Indonesia Timur yang saya paparkan dengan tawaran definisi dari Ibu Karlina Supelli sesungguhnya memang ada hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola cara berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits).

‘Revolusi Mental’ yang sebelumnya hendak saya gugat kepada Bapak tercerahkan melalui penjelasan oleh Ibu Karlina. ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yakni sebuah perubahan mendasar dalam mentalitas menyangkut cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dan sebagainya. Proses ini adalah peta untuk melangkah dalam mengubah secara lambat-laun kebiasaan bangsa.

Sebagai contoh yang diberikan oleh Ibu Karlina, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebhinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku atau etnisitas, dan lainnya. Nah, jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab. Ini persis seperti konteks Jayawijaya yang sudah saya sodorkan sebelumnya diatas.

Bapak, segenap jajaran pemerintahan bapak kelak, segenap warga negara bertanggung jawab untuk mendidik gagasan akan Indonesia yang transparan, berintegritas, dan bertanggung jawab di setiap daerah dan khususnya kepada setiap kepala-kepala daerah. Strategi yang ditawarkan Ibu Karlina adalah melalui proses pendidikan yang mana harus bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge).

Misalnya, ketika berhadapan dengan kesulitan mengetahui data tenaga kerja kesehatan di daerah, atau data pasien dengan berbagai penyakit dalam kurun waktu tertentu di salah satu daerah, kerap kali pihak yang bertanggung jawab tersebut kelimpungan untuk memberikannya. Maka diperlukan langkah membiasakan diri terhadap transparansi dan kedisiplinan dalam penyusunan laporan. Sebuah tindakan-tindakan administratif saat ini cenderung dilakukan bukan sebagai sebuah kebiasaan dan tanggung jawab, tidak dianggap pokok, sehingga gagalnya pengumpulan data yang akurat kerap kali dengan mudah diampuni. Perlu ada upaya menjadi transparansi atau sikap terbuka yang jujur sudah mengalir dalam tiap diri individu. Seperti sebuah oksigen yang tanpa perlu dipertanyakan akan tetap bisa dihirup.

Alhasil, cita-cita Revolusi Mental sesungguhnya adalah gerakan yang progresif dan berskala nasional. Gerakan ini mencakup masyarakat seluruhnya agar perilaku sosial setiap individu menjadikan sebuah kebiasaan yang paling diutamakan sebagai warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun