Mohon tunggu...
Gizka AbrarAlifiansyah
Gizka AbrarAlifiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Panic Buying di Masa Pandemi

1 Agustus 2021   14:13 Diperbarui: 1 Agustus 2021   14:17 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panic Buying merupakan sebuah fenomena yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia pada awal pandemi Virus Covid 19, tahun 2020 lalu. Panic buying merupakan sebuah peristiwa dimana masyarakat secara serentak melakukan pembelian masal pada barang-barang tertentu. Fenomena seperti ini akan mengakibatkan barang tersebut menjadi langka dan harga jualnya melambung sangat tinggi bahkan hingga berkali-kali lipat.

Pada awal terjadi pandemi Virus Covid 19 di Indonesia, Panic Buying sempat terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Pada saat itu panic buying terjadi pada barang-barang protokol kesehatan atau prokes, yaitu masker, handsanitizer, dan sabun cuci tangan. Selain itu, panic buying juga menyerang barang pokok atau kebutuhan sehari-hari. Hampir seluruh barang kebutuhan sehari-hari mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan dan juga mengalami kelangkaan stok atau kesediaan barang.

Barang-barang kebutuhan pokok seperti sembako turut menjadi sasaran panic buying hingga mengalami dampaknya yaitu kelangkaan ketersediaan dan kenaikan harga yang berkali-kali lipat. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang panik dan takut akan adanya virus corona tersebut hingga memutuskan untuk menyetok bahan makanan dan melakukan karantina dengan harapan terhidar dari penyebaran virus tersebut.

Selain karena banyaknya pembelian, salah satu dampak dari panic buying ini adalah adanya pihak 'nakal' yang melakukan penimbunan pada barang-barang yang menjadi sasaran panic buying dengan harapan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat pada saat kelangkaan itu terjadi. Hal ini jelas merugikan pihak yang benar-benar membutuhkan barang tersebut. Pihak-pihak seperti inilah yang turut mengganggu kestabilan harga disaat banyak membutuhkan, karena hanya demi keuntungan pribadi rela mengorbankan orang lain untuk mengeluarkan uang lebih banyak demi mendapatkan barang yang dibutuhkan. 

Panic buying adalah suatu budaya atau kebiasaan buruk dari masyarakat kita yang masih sering terjadi. Budaya atau kebiasaan ini timbul akibat adanya rasa panik atau takut tidak dapat memiliki barang tersebut. Kepanikan tersebut terjadi ketika banyak masyarakat yang membutuhkan, namun persediaan barang tersebut sangat terbatas. Alhasil mereka panik dan berlomba-lomba untuk melakukan berbagai cara agar tetap dapat memiliki barang tersebut.

Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat untuk lebih bijak lagi dalam memanajemen pembelian barang-barang yang diperlukan secara tiba-tiba dalam waktu yang bersamaan. Kita tidak perlu membelinya secara berlebihan, apalagi sampai ditimbun lalu dijual kembali, karena tanpa kita membelinya secara berlebihan, barang tersebut pasti akan tetap diproduksi dan dijual kembali. Pemerintah bersama produsen dan penjual juga sudah seharusnya bekerja sama untuk mengatasi masalah panic buying ini agar tidak terulang kembali kedepannya, terlebih, saat ini adalah masa pandemi Virus Covid 19, yang artinya sangat rawan penyebaran virus tersebut apabila terjadi kembali kasus panic buying yang mengharuskan konsumen untuk berdesak-desakan berebut barang yang mereka butuhkan.

Namun, seolah tak belajar dari pengalaman, panic buying kembali terjadi pada awal bulan Juli 2021 lalu. Kali ini menyasar susu Bearbrand atau susu beruang. Entah siapa yang menyebarkan pertama kali, berita bohong yang menyatakan bahwa susu merk Bearbrand atau susu beruang dapat menyembuhkan orang yang sedang positif Covid 19. Berita tersebut menyebar luas dengan cepat hingga menimbulkan salah satu dampaknya adalah terjadinya kembali fenomena panic buying. Minimnya minat membaca dan kebiasaan menelan berita tanpa memastikan kebenaran dari berita tersebut menjadi penyebab fenomena ini kembali terjadi. 

Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus kritis terhadap berita dan informasi yang menyebar. Kita harus mengetahui dan memastikan kebenaran dari berita tersebut sebelum menyebarkannya kembali. Panic buying yang terjadi akibat dari beredarnya informasi palsu atau hoaks tersebut jelas memiliki dampak yang cukup besar bagi perkembangan Virus Covid 19 di Indonesia. Masyarakat yang termakan berita hoaks tersebut langsung berbondong-bondong memborong susu beruang dan rela berdesak-desakan dengan orang lain di tengah perkembangan Virus covid 19 yang kian mengganas demi mendapatkan susu beruang yang mereka percaya dapat menyembuhkan orang yang terkonfirmasi positif Covid 19.

Fenomena panic buying ini bersinggungan dengan masalah etika dan juga memberikan banyak pelajaran untuk kita semua. Saat pertama kali terjadi panic buying di masa pandemi, yakni di awal pandemi, kita banyak melihat pihak yang mengorbankan etika mereka demi menyambung hidupnya. Menimbun barang yang sedang langka contohnya. Mereka tidak memikirkan pihak yang memang benar-benar membutuhkan barang tersebut dan justru menyimpannya sendiri dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Pada kasus kedua terjadinya panic buying juga didapati terjadi hal yang sangat tidak beretika. Pihak yang pertama kali menyebarkan informasi hoaks adalah orang jahat yang sudah merugikan ribuan orang yang sudah mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan barang yang ternyata salah satu khasiat yang mereka ketahui, yakni menyembuhkan Covid 19, adalah berita bohong alias hoaks. Bila kita perhatikan, di zaman susah seperti sekarang ini, banyak orang yang tidak mementingkan etika demi kepentingan perut mereka. Mereka dengan tega merugikan orang lain agar hidup mereka lebih baik dibanding sebelumnya, dan hal ini sangat miris, seolah salah satu ciri bangsa kita, gotong royong, telah hilang dan tergantikan dengan sifat individualis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun